Cari Uang dari Internet ?, KAD solusinya. PTC Tertua, Terpercaya dan Terbaik Di Indonesia

Popular 1:1 Traffic Exchange

Rabu, 30 Desember 2009

Raja Ikan Indonesia Nampang di Jepang

Ikan purba Indonesia yang berusia 35 juta tahun dan dikenal dengan nama sebutan "Raja Laut" atau Coelacanth, dipamerkan kepada publik Jepang di Aquamarine Fukushima, selama dua hari sejak Sabtu (12/4) lalu.

Menurut Direktur Eksekutif Aquamarina Fukushima, Yoshotaka Abe, pihaknya meminjam ikan yang berasal dari perairan di Teluk Manado, Sulawesi Utara, untuk melengkapi sementara koleksi yang ada dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat Jepang mengenai kekayaan alam dan ikan di laut.

Selain itu, kata Abe, pameran mengenai ikan Raja Laut itu juga bertepatan dengan peringatan 50 tahun hubungan Indonesia Jepang, sehingga melalui pameran keilmuan dan rekreasi ini bisa diperkenalkan mengenai Indonesia dan kekayaan alamnya yang luar biasa. "Ini tentu saja amat menarik masyarakat Jepang yang juga merupakan negara kelautan," katanya.

Pengunjung yang datang ke kompleks bernama resmi Fukushima Ocean Scientific Museum itu, terlihat antusias menyaksikan ikan purba yang berusia 35 juta tahun tersebut.

Meskipun tidak lagi dalam keadaan hidup, ikan dengan nama "Latimeria Menadoensis" itu tetap banyak menarik minat orang sehingga berdesak-desakan hanya untuk menyaksikan jasad ikan purba yang amat langka tersebut.

Menurut Prof Dr Kawilatang Masengi, Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, upaya mendatangkan ikan Coelacanth merupakan kerja sama yang kesekian kalinya dengan pihak Jepang, khususnya Aquamarine Fukushima, yang juga memiliki banyak perhatian terhadap konservasi hewan langka dan juga menjadi pusat penelitian masalah kelautan.

"Kerja sama lainnya yang sudah dilakukan selama ini adalah untuk riset dan saat ini semakin dirasakan penting. Apalagi dengan terjadinya pemasanan global seperti sekarang ini," katanya.

Ia menambahkan bahwa Indonesia dan Jepang juga perlu bersama-sama meningkatkan kegiatan riset sehingga bisa memperkaya kegiatan konservasi kelautan kedua negara.

Aquarium Fukushima yang berlokasi di pusat kota Fukushima (sekitar 250 km utara Tokyo) itu juga ikut melestarikan species ikan langka dan tumbuhan langka lainnya. Selain sebagai museum dan tempat rekreasi, Aquamarine juga menjadi pusat riset kelautan di Jepang.

Ikan Coelacanth berhabitat di lautan dalam, 700 meter di bawah laut, namun kadang-kadang bisa berada di kedalaman laut 200 meter. Ikan yang biasa hidup sekitar 360 juta tahun lalu itu rata-rata memiliki panjang 1-2 meter dan berwarna biru. Ia ditemukan juga di sejumlah perairan dunia seperti di Komoro, Madagskar, Tanzania dan Afrika Selatan.

Raja laut versi Indonesia ini juga tergolong sebagai species yang unik karena warna kulitnya bukanlah kebiruan, seperti umumnya ikan Coelacanth, melainkan berwarna coklat.(Ant)

Sabtu, 26 Desember 2009

Ikan Purba Diburu Nelayan

Ikan purba coelacanth (Latimeria manadoensis) yang hidup di sekitar perairan Sulawesi disinyalir diburu para nelayan untuk diperdagangkan. Ikan yang dilindungi tersebut, sebagian ada yang diserahkan ke Pemerintah Sulawesi Utara dengan meminta imbalan uang jutaan rupiah.

Kepala Dinas Perikanan Sulawesi Utara Xandramaya Lalu di Manado, Rabu (3/12), mengatakan, beberapa nelayan yang menyerahkan ikan purba hasil tangkapan mereka meminta imbalan sampai Rp 10 juta per ekor.

Pengamat ikan purba, Anthony Malinsang, mengatakan, ikan purba hidup pada kedalaman laut 150 meter hingga 1.000 meter. Berdasarkan data penelitian dengan menggunakan Remotely Operated Vehicle (ROV), dalam 3 tahun terakhir, terekam sebanyak tujuh ekor ikan coelacanth di perairan Sulawesi.

Ikan purba itu menjadi maskot pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado. Coelacanth yang ditemukan rata-rata berbobot sekitar 10 kilogram, tebal 20 sentimeter, panjang 98 cm, dan lebar bagian belakang 21 cm.

Coelacanth diperkirakan muncul di bumi pertama kali sekitar 360 juta tahun pada zaman Paleozoikum, atau tepatnya 100 juta tahun sebelum lahirnya dinosaurus di masa Jurassic.

Coelacanth pertama kali ditemukan di perairan East London, Afrika Selatan, pada tahun 1938. Berdasarkan penemuan ini, coelacanth kemudian disebut sebagai fosil hidup dan diberi nama ilmiah Latimeria chalumnae serta dinyatakan sebagai penemuan zoologi terbesar di abad ke-20.

Coelacanth juga ternyata ditemukan di sekitar perairan Sulawesi. ”Namun, perlindungan terhadap ikan purba ini sangat lemah. Mestinya ada peraturan daerah yang melarang penangkapan dan perdagangan ikan langka ini,” kata Anthony Malinsang.

Selasa, 22 Desember 2009

Populasi Coelacanth Harus Dilindungi

Sejak ditemukan sepuluh tahun yang lalu di perairan Manado Tua, Sulawesi, Ikan Raja Laut atau yang lazim disebut Coelacanth, membuat nama Indonesia menjadi buah bibir di kalangan peneliti ikan di seluruh dunia, khususnya ikan purba.

Menurut Peneliti Bidang Oceanografi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Augy Syahailatua PhD, ikan ini baru ditemukan di negara-negara Afrika Timur seperti Kenya, Madagaskar, Tanzania, Kongo, dan Mozambik, serta di Indonesia. Oleh karena itu keberadaanya perlu dilindungi sebagai satwa langka dari kepunahan maupun tindak pencurian.

"Untunglah sejak tahun 1999 sudah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 yang melarang ikan ini dijadikan sebagai komoditas yang diperjual-belikan secara bebas," ujar Augy, dalam workshop mengenai Coelacanth di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (16/12).

Selain itu, keberadaan Coelacanth juga dilindungi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (Cites) secara hukum internasional. "Jadi misalkan ada pihak asing yang membeli Coelacanth secara ilegal dari Indonesia, bila ketahuan, maka kami akan usut dan memintanya untuk mengembalikannya ke Indonesia," katanya.

Coelacanth, sebelumnya dikenal orang hanya sebagai fosil Ikan yang banyak ditemukan di daratan Eropa, Namun sejak Ikan ini ditemukan di perairan Comoros, banyak orang berpendapat bahwa ikan ini masih ada. Di Indonesia awal kabar ikan ini berasal dari laporan Dr. Mark V. Erdmann, peneliti dari Universitas of California Berkeley, Amerika Serikat, yang menjumpai di Pasar Bersehati, Manado, dalam keadaan mati.

"Setahun kemudian seorang nelayan di Manado secara kebetulan menangkap seekor Coelacanth, yang kemudian dibawa dan diawetkan di Museum Zoologi LIPI di Bogor. Dalam rentang 2008 ini, sudah empat spesimen ditemukan di Perairan Sulawesi, khususnya, Sulawesi bagian utara," lanjutnya.

Jumat, 18 Desember 2009

Sekilas "Si Fosil Hidup" Ikan Coelacanth

Hidup di bumi sejak era Devonia sekitar 380 juta tahun silam dan tidak berevolusi. Ini lebih tua dari dinosaurus (200 juta tahun silam).

Di dunia ada dua spesies (Latimeria chalumnae dan Latimeria menadoensis). Spesies L. chalumnae ditemukan pertama kali di Kepulauan Komoro, Afrika, tahun 1938. Spesies L. menadoensis ditemukan pertama di Manado, Sulut, tahun 1998.

Para ahli menduga coelacanth sudah punah sejak 10 juta tahun silam. Coelacanth ditemukan di Benua Atrika, yakni Kenya, Tanzania, Komoro, Mozambik, Madagaskar, dan Afrika Selatan, serta Indonesia (Tolitoli di Sulawesi Tengah, dan Manado serta Bunaken di Sulut).

Ikan ini hidup pada kedalaman 150-200 meter pada suhu 12-18 derajat celsius di relung-relung goa batuan lava. Merupakan predator yang karnivor dengan memangsa ikan-ikan kecil pada malam hari.

Coelacanth ditempatkan sejajar dengan jenis ikan yang bernapas dengan paru-paru (lungfish) dan amfibi primitif pada pohon keluarga ikan-ikan bertulang. Telur coelacanth menetas di dalam perut, tetapi bukan tergolong mamalia laut.

Masih banyak hal belum diketahui mengenai ikan ini karena teramat langka. Struktur tubuhnya memiliki sirip perut (pectoral), sirip dada (pelvic), anal dan punggung yang menjuntai seperti tangan manusia. Panjangnya bisa mencapai 1,5 meter dengan berat 40 kg.

Kamis, 17 Desember 2009

Tabir evolusi

Ketertarikan dunia terhadap coelacanth di antaranya karena misteri evolusinya. Para ahli yakin coelacanth tidak berevolusi selama ratusan juta tahun.

Hal itu pula yang membuat Aquamarine Fukushima tertarik mengoleksinya, baik hidup maupun mati. Agus mengakui, banyak hal yang belum diketahui mengenai ikan tersebut.

Popularitas ikan fosil purba itu melonjak tahun 1998 ketika pasangan peneliti dari AS menjumpai coelacanth di pasar ikan Manado. Informasi itu segera menyebar ke seluruh dunia.

Menurut Augy, karakteristik bawah laut Sulawesi Tengah (Tolitoli) hingga Biak sangat cocok dengan coelacanth. Namun, data ilmiah masih minim.

Rabu, 16 Desember 2009

Penelitian Ikan Purba Coelacanth Dilanjutkan

Penelitian ikan fosil purba coelacanth di perairan Manado, Sulawesi Utara, tahun 2009 ini direncanakan dilaksanakan pada bulan Juli. Tim dari Fukushima Aquamarine Jepang, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Universitas Sam Ratulangi, Manado, akan bergabung.

”Kami sedang mengurus kedatangan peralatan, termasuk wahana bawah laut tanpa awak,” kata Direktur Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Augy Syahailatua di Jakarta, Senin (8/6). Rencananya, penelitian itu akan difokuskan di kawasan perairan Manado tua, lokasi penemuan coelacanth oleh nelayan dua tahun lalu.

Penelitian bersama tersebut merupakan penelitian rutin tahunan. Tahun 2008, dari puluhan jam penyelaman selama dua pekan, tak satu pun ikan purba tertangkap gambar melalui wahana khusus.

Tahun 2007, dari 92 kali pengoperasian wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle) selama 52 jam 55 menit, hanya sekali perjumpaan di perairan Malalayang, Manado, selama 32 menit di kedalaman hampir 200 meter.

Pihak Aquamarine Fukushima, Jepang, mengakui, mereka sangat berminat mengetahui seluk-beluk ikan fosil purba, mulai dari karakter habitat hingga perilakunya. Karena itu, mereka rutin mengadakan ekspedisi selam dalam atau seminar mengenai coelacanth.

Peneliti ikan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Agus H Tjakrawidaja, mengatakan, Jepang sangat berminat mengoleksi ikan fosil purba yang hanya hidup di perairan Sulawesi Utara, Indonesia, dan pesisir barat Afrika itu.

Bahkan, pernah ada upaya dari Jepang untuk memiliki spesimen basah ikan purba, yang kini dikoleksi di Puslit Biologi, LIPI. Namun, upaya itu gagal karena ada keberatan dari peneliti.

Selasa, 15 Desember 2009

Si Raja Laut Mulai Diteliti Lebih Dalam

Diam-diam, Indonesia memendam kekayaan alam yang melegenda. Selain komodo, kini ditemukan juga ikan purba Coelacanth yang disebut sebagai Raja Laut atau King of The Sea.

Ikan yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada tahun 1938 ini telah memupus anggapan para ilmuwan bahwa ikan purba ini telah punah 65 juta tahun lalu. Tahun 1998, Coelacanth kembali ditemukan di Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara yang kemudian diberi nama Latimeria chalumnae.

Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap sosialisasi ikan purba berlidah ini, SeaWorld Indonesia bekerja sama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) akan melakukan penelitian lebih dalam terhadap spesimen ikan tersebut. Spesimen ketiga yang ditemukan di perairan Pulau Talise, Manado pada tanggal 25 November 2008 inilah yang akan diteliti oleh tim peneliti.

Sebelumnya, penelitian serupa telah dilakukan oleh para peneliti Jepang. Namun untuk pertama kalinya penelitian ikan ini akan didukung oleh para peneliti dari dalam negeri.

"Saya bertekad tim kali ini 100 persen murni para peneliti Indonesia. Ini adalah ajang kita untuk unjuk gigi bahwa kita juga bisa setara dengan peneliti asing," ujar Dr. Sudarto, Ketua Peneliti dalam konferensi pers Preservasi dan Pengamanan Sampel Ilmiah Coelacanth, Selasa (11/8).

Tim peneliti tersebut akan melakukan pembedahan terhadap ikan ini untuk meneliti semua karakter yang ada pada ikan tersebut seperti morfologi, genetika, reproduksi, nutrisi, DNA, dan lain-lain. Setelah dibedah, ikan ini akan dijahit kembali kemudian diawetkan dalam formalin.

Fisik ikan yang mempunyai panjang 111,1 cm dan berat 21 kg ini akan dipamerkan di SeaWorld, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Hasil penelitiannya akan menambah koleksi ilmiah di sana.

"Kita beruntung bisa punya fisiknya. Kalau di luar negeri hanya ada informasi-informasinya saja berupa foto-foto dan film-film," tutur Yongki E. Salim, Presiden Direktur PT. SeaWorld Indonesia.

Dia menambahkan, tim peneliti ini akan membuat sesuatu yang besar dan akan membuat sejarah untuk bangsa ini. Semoga hasilnya dapat berguna bagi anak bangsa.

Senin, 14 Desember 2009

Ikan Purba Coelacanth Ditemukan Lagi

Peneliti Indonesia dan peneliti dari Fukushima Aquamarine, Jepang, Senin siang tadi menemukan keberadaan ikan purba coelacanth di perairan Talise, Minahasa Utara, pada kedalaman 155 meter. Ikan ditemukan pada hari pertama tim yang bekerjasama beberapa kali itu memulai penelitiannya menggunakan wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle/ROV).

Pada siarannya melalui surat elektronik Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Prof Alex Masengi mengatakan, perjumpaan itu terjadi pada jam pertama penelitian di hari pertama. "Ikan dalam keadaan hidup dan tetap bebas di habitatnya," tulisnya.

Kelompok peneliti yang sama, 27 Juni 2007 lalu, juga menemukan ikan coelacanth di perairan Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Pada kedalaman 190 meter. Secara teori, habitat ikan coelacanth berada pada kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius.

Ikan coelacanth hanya hidup di kawasan perairan barat Afrika Selatan dan kawasan timur Indonesia. Ikan coelacanth juga disebut sebagai ikan purba, karena diduga sudah ada sejak era Devonian sekitar 380 juta tahun silam. Dan, hingga kini bentuknya tidak berubah.

Para ahli sepakat, berbagai keunikan yang ada pada coelacanth yang belum terungkap merupakan kunci tabir evolusi makhluk bawah air. Karenanya, banyak ahli ikan dunia berlomba-lomba meneliti dan mengoleksi ikan tersebut, termasuk Jepang.

Minggu, 13 Desember 2009

Biarkan Ikan Purba Itu Berbiak di Perairan Sulawesi Utara

Perairan Sulawesi Utara (Sulut) layak dijadikan konservasi ikan purba Coelacanth, sejalan dengan cukup seringnya ikan jenis itu ditemukan di wilayah tersebut.

"Beberapa tahun terakhir di perairan Sulut ditemukan ikan purba Coelacanth, makanya perlu diberi perhatian serius sehingga ikan tersebut tidak punah," kata Heard Runtuwene, peneliti dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Kamis (24/9).

Coelacanth adalah ikan yang berasal dari sebuah cabang evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang. Sebelumnya, ikan tersebut sempat diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun lalu, sampai sebuah spesimen kemudian ditemukan di Timur Afrika Selatan, di perairan Sungai Chalumna tahun 1938.

Di Indonesia, khususnya di sekitar perairan Manado dan Minahasa Utara, spesies ini oleh masyarakat lokal dinamai ikan raja laut. Coelacanth terdiri atas sekitar 120 spesies yang diketahui berdasarkan penemuan fosil.

Setelah penemuan pada tahun 2007 lalu oleh nelayan di Manado, pada 2009 kembali ditemukan di perairan Minahasa Utara melalui survei yang dilakukan Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Unsrat, LIPI, dan Fukushima Aquarime.

"Ditemukannya ikan purba di perairan Sulut menandakan wilayah kita masih diselimuti beragam ikan unik dan purba," katanya.

Temuan di perairan Minahasa Utara pada 16 September 2009 itu berawal dari tersangkutnya ikan purba itu pada jaring seorang nelayan di Pulau Talise. Ikan yang terjaring saat itu memiliki panjang tubuh 114,5 sentimeter, dengan berat 27 kg.

Usulan perairan Sulut layak dijadikan daerah konservasi mendapat dukungan resmi dari DPRD Sulut, dengan meminta pemerintah daerah dapat memberikan perhatian serius. "Perairan Sulut menggambarkan penuh dengan kekayaan sumber daya hayati serta menyimpan sejarah penting bagi dunia kelautan," kata Benny Rhamdani, anggota DPRD Sulut.

Jumat, 11 Desember 2009

Wow... Seekor Anakan Ikan Purba Terekam Kamera

Kehidupan Coelacanth, yang sering disebut ikan purba karena diduga punah sejak zaman prasejarah, kembali terekam kamera di perairan Teluk Manado, Sulawesi Utara. Rekaman kali ini sangat unik karena yang terlihat adalah sosok anakan ikan tersebut.

Sosok ikan Coelacanth yang terekam itu diperkirakan memiliki panjang 31,5 cm dengan warna sisik biru dan bercak-bercak putih. Anakan ikan purba tersebut tengah berenang dengan lambat di dekat dinding batu di dasar laut.

Video berdurasi 20 menit itu dibuat para peneliti Jepang yang tengah melakukan penelitian bersama para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Sam Ratulangi Manado menggunakan robot bawah air. Rekaman tersebut dibuat pada 6 Oktober 2009 pada kedalaman 161 meter.

"Sejauh yang kami tahu, ini merupakan video pertama yang merekam anakan Coelacanth, makhluk yang masih misterius," ujar Masamitsu Iwata, seorang peneliti dari Aquamarine Fukushima di Iwaki, Jepang, saat mengumumkannya Selasa (17/11), seperti dilansir AFP.

Penemuan anakan ini menunjukkan bahwa ikan purba masih berkembang dengan baik di perairan Sulawesi. Namun, para ilmuwan juga berharap temuan ini memberi gambaran baru dan kepedulian semua pihak agar habitat ikan tersebut dijaga dari kerusakan.

Anakan ikan purba sebelumnya pernah ditemukan dalam perut ikan purba betina yang tertangkap di daerah tersebut. Diyakini, ikan purba mengandung telurnya sampai siap menetas untuk dilahirkan.

Kehidupan ikan Coelacanth sampai saat ini memang masih menyimpan banyak misteri. Para ilmuwan sebelumnya menganggap ikan ini telah punah sejak jutaan tahun silam dari bukti fosil yang ditemukan. Namun, pada tahun 1938, spesies yang sama ditemukan dalam keadaan hidup di perairan barat Afrika Selatan dan menyusul penemuan lainnya di Manado pada 1999. Oleh karena itu, ikan Coelacanth sering disebut fosil hidup.

Selasa, 08 Desember 2009

Kunci evolusi

Para ahli sepakat, berbagai keunikan coelacanth, yang belum seluruhnya terungkap, merupakan kunci penting mengungkap tabir evolusi makhluk bawah air. Alasan itu pulalah yang membuat pihak Jepang berupaya keras mengetahui seluk-beluk ikan fosil hidup itu.

Selain di Indonesia, Aquamarine Fukushima juga memiliki proyek survei lapangan di Afrika Selatan dan Tanzania. Tujuan survei itu adalah memfilmkan coelacanth di habitat aslinya.

Proyek jangka panjang yang fokus pada coelacanth itu disebut proyek ”Greeneye”. Selain survei lapangan, aktivitas proyek diikuti lokakarya dan simposium internasional serta ekshibisi khusus, termasuk mendatangkan awetan coelacanth ke Jepang selama sekitar tiga bulan.

Hingga tahun 2008, Jepang masih berupaya memiliki awetan basah coelacanth yang kini disimpan di Museum Biologi LIPI. Namun, masih ada penolakan dari peneliti.

Menyadari potensi besar coelacanth, yang mewakili kekayaan sumber daya hayati laut Tanah Air, Indonesia menjadikan ikan fosil hidup sebagai maskot Konferensi Kelautan Sedunia dan Pertemuan Segitiga Terumbu Karang (WOC-CTI Summit) pada 11-15 Mei 2009 di Manado.

Di Indonesia, setidaknya ada dua awetan basah coelacanth, yakni yang disimpan di Museum Biologi LIPI di Cibinong dan di Manado. Coelacanth menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia sekaligus keterbatasan pengelolaan dan penelitian kelautan di Tanah Air.

Kamis, 03 Desember 2009

Fosil hidup ”bertangan”

Para ahli menyebut ikan coelacanth sebagai ikan purba. Alasannya, ikan itu diyakini sudah ada di bumi sejak era Devonia sekitar 380 juta tahun silam. Hingga kini, bentuknya tidak berubah alias tidak berevolusi!

”Coelacanth juga disebut ikan fosil hidup,” kata peneliti ikan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Agus H Tjakrawidjaja. Bersama satu peneliti Perancis dan beberapa peneliti Indonesia lainnya, Agus mengidentifikasi ikan coelacanth pertama di Indonesia ditemukan tahun 1998 di Manado, Sulut.

Hasilnya, ikan tersebut merupakan jenis baru yang kemudian disebut Latimeria menadoensis dan dipublikasikan di jurnal ilmiah Perancis, Comtes Rendus de L’Academie des Sience (24 Mei 1999). Identifikasi taksonomi itu mengejutkan ahli zoologi sedunia karena sejak tahun 1940 dunia hanya mengenal satu spesies coelacanth (Latimeria chalumnae) yang ditemukan di barat Madagaskar (1938), sekitar 10.000 kilometer dari Manado.

Ada kisah menarik di balik penerbitan spesies baru dari Manado itu. Agus mengisahkan, kelompok peneliti di Indonesia bersaing dengan peneliti dari Amerika Serikat, yang disebut-sebut menghalangi publikasinya di jurnal bergengsi, Nature. ”Toh, akhirnya bisa juga.”

Secara fisik, sekilas fosil hidup tampak seperti ikan kerapu macan. Loreng-loreng gelap bergigi tajam.

Keunikan paling nyata adalah keberadaan sepasang sirip dada, sirip perut, satu sirip anal (bagian belakang bawah), dan satu sirip punggung yang tidak menyatu dengan tubuh, tetapi menjulur seperti tungkai layaknya tangan manusia.

Untuk tetap pada posisinya, coelacanth menggerakkan sirip perut dan sirip dadanya seperti dayung. Gerakan maju datang dari sirip anal dan sirip punggung belakang.

Ada dugaan, coelacanth dapat bergerak mundur, tetapi belum ada publikasi mengenai kebenarannya. Yang pasti, seperti dikatakan Agus, rahang atas coelacanth dapat bergerak membuka seperti rahang bawah.

Peneliti ikan LIPI lainnya, Haryono, mengaku belum pernah melihat ikan dengan kemampuan membuka rahang bagian atas seperti coelacanth. Dengan kemampuan itu, coelacanth, ikan karnivora, dimungkinkan memangsa ikan yang lebih besar.

Agus menambahkan, coelacanth menetaskan telurnya di dalam perut, bukan di luar tubuhnya. ”Namun, ia tetap bukan mamalia air,” katanya.

Di dunia, habitat coelacanth diketahui di pantai Afrika, yakni Kenya, Tanzania, Mozambik, Madagaskar, dan Afrika Selatan, serta Indonesia. Di Indonesia, sebaran coelacanth mulai dari Buol, Tolitoli, Sulawesi Tengah, hingga Manado, Sulawesi Utara, sekitar 400 kilometer.

Penelitian Aquamarine Fukushima di kedalaman laut di kawasan itu (2006-2007) merekam tujuh coelacanth. Seluruhnya di kedalaman lebih dari 120 meter dengan suhu antara 12 C dan 17 C.

”Kami menduga, coelacanth juga ada di perairan Biak,” kata Augy. Pertimbangannya, kondisi bawah lautnya memiliki kemiripan dengan Sulut; berpalung dengan goa-goa batuan lava.