Cari Uang dari Internet ?, KAD solusinya. PTC Tertua, Terpercaya dan Terbaik Di Indonesia

Popular 1:1 Traffic Exchange

Minggu, 31 Januari 2010

Kehidupan Biota Laut Terancam

Badan konservasi alam dunia di bawah PBB mengingatkan pentingnya Konferensi Perubahan Iklim 2009 menghasilkan kesepakatan yang ambisius. Pengasaman laut akibat kenaikan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer menyebabkan kepunahan spesies biota laut.

Rentetannya, yaitu terancamnya ketahanan pangan dan berdampak serius terhadap perekonomian dunia. Faktanya, pengasaman laut naik 30 persen sejak era industri 250 tahun silam. ”Pengasaman laut dideskripsikan sebagai ’pasangan jahat’ perubahan iklim,” kata Marine Vice Chair IUCN World Commission on Protected Areas Dan Laffoley pada peluncuran laporan The Ocean and Climate Change Tools and Guidelines for Action di Bella Center, Kopenhagen, Denmark.

Biota laut yang terancam di antaranya adalah terumbu karang dan hewan bercangkang, yang merupakan organisme kunci lautan. Terumbu karang menjadi gantungan hidup ratusan ribu spesies, termasuk ikan hias dan ikan komersial, yang banyak memberi penghidupan bagi masyarakat pesisir. Hewan bercangkang berperan penting pada rantai makanan di laut.

Tingginya kadar asam laut menyebabkan karang-karang mati, yang membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk pulih. Apabila itu terjadi, lautan bisa menjadi sumber petaka. Padahal 70 persen luasan dunia terdiri atas laut. Selain itu, hampir 90 persen penduduk dunia bersinggungan dengan laut.

Publikasi penelitian menyebutkan, jika kadar CO di atmosfer terus naik, keasaman air laut akan meningkat 120 persen pada tahun 2060, yang terbesar dalam 21 juta tahun ini. Pada tahun 2100, 70 persen karang laut dingin terpapar air yang bersifat korosif. ”Kelautan harus menjadi salah satu isu utama dalam diskusi,” kata Laffoley.

Selain fakta kebergantungan langsung penduduk dunia terhadap hasil laut, lautan juga menyerap 25 persen CO yang diemisikan setiap tahunnya dan menyuplai oksigen bagi makhluk hidup.

Faktanya, isu kelautan masih belum jadi isu utama negosiasi. Diakui bahwa ada kekurangan data penunjang mengenai peran laut sebagai penyerap karbon. Apalagi untuk laut di kawasan tropis, seperti Indonesia. Sebagian pihak menilainya lebih banyak melepaskan emisi karena pengaruh arus laut dan posisi Matahari. Head of IUCN Marine Programme Carl Gustaf Lundin menyebutkan, saat ini adalah waktu tepat memotong laju emisi dalam jumlah besar.

Sabtu, 30 Januari 2010

Sumur Resapan, Banjir, dan Ternak Lele...

Hujan? Gak masalah! Banjir? Itu sudah masa lalu! Begitulah warga di RT 04/RW 01 Kelurahan Babakan Asih, Kecamatan Bojongloa Kaler, Kota Bandung ini boleh sedikit membusungkan dada kalau diajak bicara soal banjir.

Bahkan, kini mereka mengaku tak kawatir dan bisa tidur nyenyak meski hujan gegenjeran menghantam bumi. Ya, mereka tak lagi dihantui bencana banjir yang dulu kerap melanda permukiman mereka. Pembuatan sumur-sumur resapan di seluruh perkampungan menyebabkan air cepat sekali meresap dan tak sampai menggenangi kampung.

Sekilas, suasana pemukiman di RT 04 Babakan Asih itu layaknya kawasan padat penduduk lainnya. Gang-gang sempit dan rumah-rumah berdempetan menjadi pemandangan yang umum. Namun, tidak ada yang menyangka, di bawah gang-gang sempit itulah terletak sebuah instalasi prolingkungan yang bahkan belum ada di kompleks perumahan mewah sekalipun, yaitu sumur-sumur resapan.

Sebanyak 17 titik sumur resapan dibangun di berbagai sudut dan gang di kawasan ini. Sumur-sumur ini memiliki spesifikasi ukuran rata-rata 1 x 0,8 x 2 meter, ditambah lubang suntikan sepanjang 3 meter di dasar sumur untuk mengalirkan air.

Alhasil, sejak dibangun Mei 2009 silam, keberadaan sumur-sumur resapan ini sangat membantu mengurangi banjir. "Dahulu, cileuncang bisa bertahan berjam-jam, bahkan hingga berhari-hari. Sekarang, 15 menit juga bajir sudah surut," ungkap Ahmad Ruyani (44), Ketua RT 04 Babakan Asih.

Wilayah yang lazim dikenal dengan nama Blok Tempe ini dulunya adalah daerah langganan banjir. Anak Sungai Citepus yang membelah wilayah ini biasa menjadi sumber malapetaka.

"Dulu, kalau pas ujan besar, anak-anak sekolah sulit ke sekolah. Banjir bisa sampai lebih dari setinggi lutut. Sampai-sampai, tiang jembatan (kali) tenggelam pas banjir," kata Reggi Kayong Munggaran (26), aktivis Common Room yang memotori gerakan pemberdayaan masyarakat di pemukiman ini menceritakan kondisi dahulu di wilayah ini.

Pengalaman pahit akan banjir dan kondisi lingkungan yang buruk melecut warga untuk bersama-sama aktif melakukan sesuatu. Ya, jadinya salah satunya sumur resapan ini. Pembuatan sumur resapan ini menelan dana Rp 1,7 juta per sumur. Ditotal, seluruh sumur menelan dana hingga Rp 28,9 juta.

Dana patungan

Dari mana biaya sebesar itu diperoleh? "Sebagian dari udunan (patungan) warga, dan sebagian lagi dari sumbangan berbagai pihak," tutur Reggi. Terlepas dari besarnya dana, dengan segala impitan hidup dan minimnya penghasilan, warga mau bersama-sama iuran dan kerja bakti membangun sumur ini.

Uniknya, tidak hanya berfungsi mengendalikan banjir, sumur-sumur resapan ini juga bisa digunakan untuk ternak kecil-kecilan ikan lele. Lele dipakai agar jentik nyamuk mati. "Satu sumur bisa menghasilkan 2 kg lele," tutur Ipan Garniwa (27), pengurus RT setempat.

Hasil panen ikan lele biasa digunakan warga untuk botram-istilah untuk makan bareng, setiap usai kerja bakti membersihkan kali atau menguras sumur resapan. Singkat kata dari warga untuk warga pula hasilnya.

Gerakan kepedulian lingkungan dengan m embuat sumur-sumur resapan yang ditunjukkan warga RT 04 Babakan Asih ini patut menjadi contoh bagi warga Bandung yang lain. Apalagi, Pemerintah Kota Bandung sempat mencetuskan gerakan membuat sumur resapan. Namun, dampaknya hanya jalan di tempat.

Masih ba nyak warga yang enggan dan belum sadar untuk membuat sumur resapan sendiri. Padahal, dampak banjir ke depan bakal kian menjadi-jadi akibat tingginya peluang hujan ekstrim yang dipicu perubahan iklim

Kamis, 28 Januari 2010

Rayakan Kemerdekaan dengan Panen Lele

Gubernur Nusa Tenggara Timur Frans Lebu Raya, Senin (17/8), melakukan panen perdana ikan lele hasil olahan para nara pidana (napi) Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kupang. Hasilnya, 18.000 ekor!.

Panen perdana ikan lele hasil budidaya 624 napi penghuni LP Klas IIA Kupang itu dilakukan seusai Gubernur Lebu Raya menyerahkan remisi umum kepada 362 napi di LP Penfui pada HUT ke-64 Kemerdekaan RI.

"Ini bukti bahwa kehidupan di Lapas tidak ada bedanya dengan warga masyarakat lain yang berada di rumah sendiri. Ini sangat luar biasa," kata Gubernur Lebu Raya memuji aktivitas para napi tersebut.

Ia mengatakan, pembangunan ekonomi dapat dilakukan melalui pengembangan budidaya ikan air tawar yang hingga saat ini belum dilirik masyarakat pengusaha sebagai salah satu potensi yang cukup menjanjikan di NTT saat ini.

"Budidaya ikan (air) tawar hanyalah satu potensi dari sedemikian banyak potensi yang dimiliki daerah ini. Semuanya belum digarap dan diolah secara maksimal untuk meningkatkan pendapatan, meskipun 70 persen penduduk adalah petani dan nelayan" katanya.

Kondisi tersebut, menurut Gubernur Lebu Raya, ikut memengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi di daerah ini yang baru mencapai 4,8 persen dengan tingkat pendapatan perkapita masyarakat Rp4,4 juta per tahun.

"Saya minta kepada semua komponen masyarakat, baik yang masih mendekam dalam Lapas atau rumah tahanan untuk tidak berhenti beraktivitas dan berkreativitas secara cerdas dan tuntas dalam upaya meningkatkan kesejahteraan," ujarnya.

"Ini salah satu resep untuk menurunkan angka kemiskinan yang hingga kini mencapai 24 persen dan menaikkan pertumbuhan ekonomi rakyat serta menaikkan pendapatan perkapita masyarakat," katanya menambahkan.

Kepala LP Kelas IIA Kupang Priya Pratama secara terpisah mengatakan, dari 18.000 ikan lele yang dipanen tersebut, sebaran pertama hanya 9.000 ekor. "Sebaran tahap kedua 10.000 ekor, namun yang hidup hingga dipanen oleh Gubernur Lebu Raya sebayak 9.000. Jadi totalnya 18.000 ekor," katanya menjelaskan.

Awal mulanya, kata Pratama, pihak Lapas mendatangi Dinas Perikanan NTT meminta agar ada kerja sama soal budidaya ikan lele ini. "Ajakan tersebut akhirnya tercapai. Kami menyiapkan bak penampung serta empang untuk budidaya di halaman tengah Blok C Lapas Penfui, sedang Dinas Perikanan NTT menyiapkan bibit, makan dan tenaga pendamping," katanya.

Selasa, 26 Januari 2010

Beternak Lele Dumbo, Siapa Takut...

Lele dumbo (Clarias gariepinus) semula dipandang sebelah mata. Namun, komoditas perikanan air tawar ini sekarang menjelma menjadi industri rakyat. Nilai perdagangannya setiap tahun mencapai lebih dari Rp 1 triliun, penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan multyplier effect yang dihasilkan juga besar.

Berbagai jenis usaha terkait lele pun meluas, mulai dari industri pakan (pelet), perbenihan, budidaya, perdagangan, hingga pengolahan pangan berbahan baku lele yang umumnya skala rumahan.

Konsumen lele juga menyebar luas. Dari desa hingga ke kota. Tidak saja rakyat jelata yang makan di warung-warung tenda dengan sambal terasi dan lalapan, tetapi merambah ke konsumen menengah atas.

Perubahan status sosial komoditas lele ini telah merangsang tumbuhnya berbagai inovasi usaha dalam teknologi pengolahan pangan. Ada lele goreng kremes, bakso lele, mi basah lele, lele asap, abon lele, rolade lele, hingga pizza lele.

Karena potensinya yang besar, tak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut mendukung pengembangan usaha berbasis lele dumbo dengan kampanye makan lele.

Konsumsi meningkat

Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan Made L Nurdjana, Rabu (29/7) di Sukabumi, Jawa Barat, mengungkapkan, terus meningkatnya konsumsi lele dan produk olahannya secara otomatis mendorong peningkatan produksi lele dalam negeri. Tahun 2008 saja produksi lele hidup untuk konsumsi mencapai 108.200 ton.

Dengan menghitung per kilogram lele ukuran konsumsi ada delapan ekor, setidaknya dalam setahun produksi lele nasional mencapai 868,6 miliar ekor atau 2,37 miliar ekor per hari. Apabila dirupiahkan, produksi lele 108.200 ton per tahun itu senilai Rp 1,41 triliun, dengan asumsi harga lele konsumsi Rp 13.000 per kilogram.

Belum menghitung nilai ekonomi yang timbulkan dari usaha lele, baik dari aspek off farm maupun sarana produksi, seperti produksi pakan, obat-obatan, material kolam, pemupukan, hingga pembenihannya.

Semakin besar lagi perputaran ekonomi kalau menghitung berapa juta pedagang di seantero negeri ini berkat lele, baik dalam bentuk warung tenda maupun produk olahan. Juga berapa banyak tenaga kerja yang terserap baik tingkat hulu maupun hilir, dan perdagangannya.

Dewasa ini permintaan lele juga tidak saja berasal dari dalam negeri. Konsumen di Amerika Serikat dan Eropa juga sudah melirik lele. Begitu pula dengan Singapura dan Malaysia.

Arus bawah

Berkembangnya ”industrialisasi” lele dumbo berbasis kerakyatan secara tanpa disengaja tumbuh dari bawah. Ketika lele dumbo masuk Indonesia beberapa dekade lalu, minat masyarakat terhadap jenis ikan catfish yang satu ini cenderung negatif.

Kala itu masyarakat tidak begitu suka dengan lele karena kesan menjijikkan. Kulitnya yang berlendir mengingatkan konsumen tertentu pada jenis hewan melata seperti belut.

Kemampuan adaptasi binatang air yang satu ini karena mampu hidup dalam lingkungan air yang kotor sekalipun telah menggeser persepsi masyarakat terhadap komoditas lele yang terkesan jorok.

Namun, seiring melemahnya daya beli masyarakat akibat berbagai tekanan ekonomi, lele semakin diminati. Selain murah kandungan proteinnya tinggi.

Munculnya fenomena pecel lele kian mendongkrak citra lele di mata masyarakat. Mengonsumsi lele bukan lagi memalukan. Di Yogyakarta, pecel lele menjadi santapan yang digemari mahasiswa karena terjangkau. Kebutuhan lele dumbo di Yogyakarta 10-15 ton per hari.

Pelan dan pasti, permintaan lele terus naik. Bila tahun 2004, produksi lele budidaya hanya 51.271 ton per tahun, tahun 2005 naik menjadi 69.386 ton, 2006 (77.272 ton), 2007 (91.735 ton), dan 2008 (108.200 ton).

Direktur Riset dan Kajian Strategis Institut Pertanian Bogor (IPB) Arif Satria mengungkapkan, lele merupakan industri rakyat. Tak ubahnya raksasa yang tidur (sleeping giant), bisa diusahakan siapa saja.

Yang diperlukan saat ini adalah inovasi teknologi pangan. Karena sekarang ini konsumsi terbesar lele dumbo lebih pada bentuk segar, belum banyak ke produk olahan. Kalau tidak segera mengembangkan industri pangan olahan berbasis lele, akan terjadi kelebihan pasokan dan ini akan membahayakan bagi kelangsungan usaha.

”Kalau menunggu inovasi teknologi pengolahan pangan dari masyarakat, perlu waktu lama. Kebijakan pemerintah, perguruan tinggi, dan lembaga penelitian di bidang pangan perlu di arahkan ke sana,” katanya.

Industri lele dumbo berbasis usaha kecil rakyat ini jelas lebih tahan banting.

Senin, 25 Januari 2010

Mataram Unggulkan Ikan Air Tawar

Kota Mataram dan Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), menjadi pusat pengembangan budidaya ikan air tawar terutama ikan nila, lele, dan karper dengan sistem keramba dan kolam.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTB Moh Ali Syahdan di Mataram, Sabtu (12/12/2009), mengatakan, saat ini semakin banyak petani di Kota Mataram yang membuka usaha budidaya ikan nila baik di kolam maupun menggunakan keramba karena permintaan komoditas tersebut cukup banyak terutama untuk pasar lokal.

Ia mengatakan, di sejumlah wilayah Kota Mataram cukup banyak petani yang mengelola usaha budidaya ikan nila dan karper, antara lain di Sayang-Sayang, sementara di Lombok Barat paling banyak di Kecamatan Lingsar dan Narmada.

Kota Mataram dan Lombok Barat cocok untuk pengembangan budidaya ikan air tawar terutama nila, karper dan lele, karena air tidak pernah kering kendati terjadi kemarau panjang. "Saat ini petani di Kota Mataram dan Lombok Barat sedang ’demam’ usaha budidaya ikan nila baik di kolam maupun keramba, karena permintaan komoditas tersebut terus meningkat," katanya pada acara jumpa pers evaluasi akhir tahun 2009.

Permintaan ikan nila di pasar tradisional di Kota Mataram dan Lombok Barat cukup tinggi, demikian juga untuk kolam pemancingan cukup banyak membutuhkan ikan nila dan karper.

Budidaya ikan air tawar lain yang dikembangkan petani adalah ikan lele dengan menggunakan lahan marginal, namun hasilnya cukup besar. "Kami menganjurkan petani untuk memproduksi ikan lele sebanyak-banyaknya, karena permintaan khususnya di Pulau Sumbawa cukup banyak dan harganya mahal mencapai Rp 20.000 hingga Rp 21.000 per kilogram, sementara di Kota Mataram hanya Rp 11.000 per kg," katanya.

Sabtu, 23 Januari 2010

Melacak Sirip Hiu, dari Sup ke Samudra

Tiap tahun jutaan sirip hiu diperdagangkan di pasar-pasar di China untuk memenuhi permintaan akan sup sirip hiu, yang dianggap sebagai salah satu kenikmatan kuliner. Tapi sejauh ini belum pernah diketahui hiu dari daerah mana dan jenis apa yang terancam akibat perdagangan ini.

Nah, berkat suatu riset DNA, para peneliti mampu melacak asal sirip hiu yang dijual di pasaran Hong Kong sampai ke tempat hiu-hiu itu hidup. Ilmuwan menemukan bahwa sebagian dari sirip hiu itu diambil dari jenis hiu martil yang hidup berkilo-kilometer jauhnya dari Hong Kong dan populasinya tergolong terancam.

Penemuan ini menekankan pentingnya melindungi hiu-hiu dari perdagangan internasional. Pasalnya, sekitar 73 juta hiu dibunuh tiap tahun demi masakan yang disebut lezat ini, dimana 1 sampai 3 juta hiu yang dibunuh adalah hiu martil. Menurut Ellen Pikitch, profesor ilmu kelautan dari Universitas Stony Brook, New York, hiu-hiu martil diincar karena ukuran siripnya yang besar, dan 1 kg sirip bisa dijual seharga 120 dollar AS.

"Perdagangan sirip hiu telah terjadi bertahun-tahun secara gelap," kata Demian Chapman, peneliti dari Institut Ilmu Pelestarian Laut, Universitas Stony Brook. "Hasil kerja kami menunjukkan bahwa perdagangan sirip hiu martil berasal dari seluruh penjuru dunia, maka itu penanganannya juga harus dilacak dan dikelola secara global."

Chapman dan para mitranya memakai teknik yang disebut 'identifikasi stok genetika' (GSI) untuk meneliti contoh DNA dari 62 sirip hiu martil yang didapatkan dari pasaran di Hong Kong. Dengan melihat urutan DNA mitokondrial dari tiap sirip - yaitu bagian kode genetika yang diturunkan dari induk dan bisa dilacak untuk menentukan daerah kelahiran hiu - para peneliti bisa mencocokkan 57 dari 62 sirip tersebut pada suatu lokasi di Samudra Indo-Pasifik.

Tim peneliti juga menganalisa urutan mitokondrial dari 177 hiu martil yang telah dipotong siripnya di Samudra Atlantis bagian barat dan membuktikan bahwa spesies itu berasal dari tiga kelompok menurut asalnya, yaitu: dari utara (Atlantik dan Teluk Mexico), tengah (Belize dan Panama), selatan (Brazil). Hasil pelacakan menunjukkan 21 persen sirip hiu di Hong Kong berasal dari Atlantik bagian barat. Hiu martil yang telah diambil siripnya di area ini sejak 2006 sudah termasuk kelompok terancam menurut Serikat Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN). Bahkan spesies daerah pesisir ini sepertinya telah hilang dari bagian barat Samudra Atlantik Utara dan Teluk Mexico.

"DNA dari hiu martil memiliki tanda DNA populasi yang kuat, sehingga kita bisa melacak asal-usul geografis sebagian besar sirip yang dijual di pasaran," kata Mahmood Shivji, direktur dari Institut Riset Guy Harvey, di Florida yang telah menerbitkan karya tulis mengenai topik ini. "Dari sudut pandang yang lebih luar, pengujian sirip lewat forensik DNA bisa menjadi alat untuk menentukan area perlindungan dan untuk memastikan hiu tidak punah di area tertentu akibat diburu secara berlebihan."

Perlindungan hiu martil akan dipertimbangkan pada Konvensi mengenai Perdagangan Internasional Spesies yang Terancam (CITES), Maret 2010, di Qatar.

Amerika telah mengusulkan bagi CITES untuk mendaftar hiu martil dan lima spesies hiu lainnya pada Lampiran II, yang akan mencanangkan perizinan dan pengawasan untuk seluruh perdagangan spesies ini di seluruh perbatasan internasional. Dengan mengetahui spesies dan asal-usul dari sirip yang diperdagangkan maka pengelolaan dan usaha perlindungan bisa dialokasikan dengan efektif.

Kamis, 21 Januari 2010

Bukan Cupang Sembarang Cupang

HANYA Indonesia yang menyebut ikan air tawar ini cupang. Memang enak dilafalkan. Tentu, ini bukan cupang sembarang cupang. Di pentas dunia, ikan cupang akrab disebut betta fish atau ada yang menyebut the Siamese fighting fish lantaran ikan ini diakui paling banyak berasal dari Thailand dan suka berkelahi. Ikan cupang dikenal sebagai ikan aduan dan pelahap jentik nyamuk.

”Makanya, penggemar ikan cupang enggak ada yang sakit demam berdarah. Jentik nyamuknya udah dimakan cupang, he-he-he,” gurau Toni Hidayat (29), Ketua Umum INBS yang sehari-hari berbisnis di bidang teknologi informasi.

Cupang, disebut Toni, sebagai ikan hemat energi dan antipemadaman listrik. Cupang tidak membutuhkan listrik untuk menggerakkan pompa yang menyedot air dari dan ke filter seperti saat memelihara ikan koi, misalnya. Tidak pula membutuhkan gelembung udara untuk aerator. ”Cukup dicemplungkan ke air, dia akan hidup. Ikannya bandel dan jarang sakit,” imbuhnya.

Penggila cupang, Joty Atmadjaja (46), mengatakan, Indonesia adalah penghasil ikan cupang hias terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Namun, untuk cupang alam, Indonesia nomor satu di dunia. ”Cupang alam ini adalah yang masih asli di habitatnya. Indonesia kaya sekali. Saat ini kita memiliki 40-an spesies cupang yang sudah diidentifikasi,” katanya. Joty saat ini mengoleksi 15 spesies cupang alam untuk dibudidaya.

INBS bekerja sama dengan Departemen Kelautan dan Perikanan RI akan terus mengidentifikasi cupang karena diyakini Indonesia masih mempunyai banyak spesies cupang. ”Terakhir, beberapa jenis cupang hias ditemukan oleh pakar ikan cupang Dr Sudarto, dari Papua,” kata Joty.

Banyak yang istimewa dari Cupang. Pertama adalah warna-warna yang tajam seperti merah, oranye, emas, hitam, biru, kuning, tembaga, yang semuanya mengkilat. Ada juga kombinasi warna seperti kombinasi dalam ikan koi. Soal bentuk, yang istimewa adalah ekornya. Ada berbagai bentuk ekor, antara lain crowntail atau serit (ekornya berjumbai-jumbai dan berduri), half-moon (ekor mengembang membentuk huruf D, membentuk sudut 180 derajat), doubletail (ekor seperti terbelah menjadi dua dan mengembang), dan fantail (ekor melingkar)

Rabu, 20 Januari 2010

Bukan Masanya Mengadu Cupang

APA istimewanya ikan cupang (Betta splendens)? Ukurannya kecil, penyendiri, dan gemar berantem. Nah, justru itu menariknya, di samping warnanya yang tajam dan beragam serta bentuknya yang indah. Penggemarnya sejagat, termasuk mereka yang tergabung dalam Komunitas Indo Betta Splendens (INBS).

Umumnya, penggemar ikan cupang mengakrabi ikan ini sejak masa kanak-kanak. Menyaksikan dua ikan cupang berkelahi rasanya asyik betul. Saat ikan marah, bentuknya menjadi lebih indah. Siripnya terkembang sempurna. Ya, cupang memang dikenal sebagai ikan aduan. Waktu bertarung bisa tiga jam, sampai salah satunya mati dan yang lain lemas. Wah….

”Di habitat aslinya, ikan ini memang soliter. Di satu lubuk, biasanya hanya ada satu pejantan. Makanya kalau bertemu jantan lain, berkelahi,” ujar Toni Hidayat (29), Ketua INBS.

Kalau ketemu betina? Cupang jantan akan berjoget lantas membuat sarang busa dengan air liurnya. Kalau kawin, cupang betina dijepit si jantan. ”Nah kalau ceweknya terlalu gemuk, ia ditubruk cowoknya agar keluar telur. Telurnya diambil cowoknya dan ditaruh di busa. Indah, deh,” tutur Toni. ”Oya, biasanya cupang kawin pukul 10 pagi,” sambung pria yang rupanya gemar menonton cupang kawin ini.

Toni mengenal cupang sejak usia lima tahun. Saat ia sekolah dasar, saban pekan selalu datang penjual ikan ke sekolah sampai dikerubuti anak-anak. Ia pun mulai gemar mengadu cupang. ”Sampai SMA saya masih suka ngadu, tapi pas kuliah saya stop,” tuturnya. Koleksi cupang yang ia miliki kemudian dipelihara dan dikembangbiakkan hingga ratusan ekor.

Anggota komunitas lain, Joty Atmadjaja (46), mempunyai pengalaman sama. ”Dulu kalau saya diajak ke pasar, selalu berhenti di toko ikan. Saya pandangi lama-lama semua ikan hias. Ketika melihat cupang, saya tertarik, karena suka beradu. Saya lalu terbiasa mengadu ikan cupang, asyik rasanya,” tutur wiraswasta yang mengoleksi ribuan ekor cupang hias dan ratusan cupang alam ini.

Saat ia dewasa, kenangan masa kecil muncul kembali. Kali ini cupang bukan lagi untuk diadu, tetapi untuk dinikmati keindahannya, dipelihara, dikoleksi, dibudidaya, dan bisa juga dijual sampai mancanegara.

Joty bahkan sampai keluar dari perusahaan makanan olahan tempat ia bekerja pada tahun 2006 gara-gara cupang. Padahal, ia bekerja di perusahaan itu sejak 18 tahun lalu hingga posisi terakhir sebagai direktur marketing internasional. ”Demi kecintaan pada cupang. Enggak enak kan sama atasan dan anak buah karena mereka lebih sering melihat cupang di layar komputer saya dibanding urusan kerjaan, he-he-he,” jelasnya.

Kini setelah berwiraswasta, Joty lebih bebas mengatur waktu untuk bercengkerama dengan cupang-cupangnya. ”Bisa berjam-jam ngurus cupang. Bersihin akuarium, kasih makan, memandanginya menari, menikmati warna-warna cerahnya. Lupa makan deh,” ungkapnya.

Komunitas dunia

Dari mana lagi sesama penggemar ikan cupang berinteraksi kalau tidak lewat mailing list (milis) di internet. INBS generasi pertama diketuai oleh Abdul Sahal (46), wartawan Republika. Milis dibentuk menyusul kelahiran komunitas ini pada tahun 2001. Hingga kini anggota milis mencapai ratusan orang di seluruh Indonesia. ”Komunitas kami sudah menjadi bagian dari komunitas ikan cupang dunia,” terang Sahal.

Maksudnya, INBS mendapat sertifikasi dari International Betta Congress (IBC), komunitas tingkat dunia penyelenggara kegiatan-kegiatan internasional yang berhubungan dengan ikan cupang yang dibentuk tahun 1966. ”Kalau ada kontes ikan cupang sedunia, kami selalu ngirim perwakilan, bisa ikannya saja atau ikan dan pemiliknya. Kami masuk chapter Asia Tenggara,” jelas Sahal. Ditambahkan, tempat kontes berpindah-pindah, bisa di Asia, Eropa, atau Amerika.

Soal kontes-kontesan, Indonesia selalu percaya diri. Itu lantaran habitat asli ikan ini memang kebanyakan di Asia Tenggara. termasuk Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Indonesia paling bangga mengirimkan jenis ikan cupang serit atau crowntail. ”Kami selalu juara kalau kontes ikan serit karena memang jenis ini yang paling bagus ya dari Indonesia,” ujar Toni. Namun, untuk jenis halfmoon dengan ekor mengembang membentuk huruf D, jagonya adalah negara Swiss.

Menjadi bagian dari IBC bukan untuk gagah-gagahan, namun pembuktian keseriusan menggauli hobi budidaya ikan cupang. ”Kegiatan lain adalah konservasi alam. Ini untuk mengubah anggapan orang bahwa cupang tidak untuk diadu, namun untuk dinikmati dan dibudidaya,” terang anggota lain, Gempur Susetyo Hadi (40), karyawan Bank Mandiri.

Hanya seperempat dari anggota INBS yang benar-benar menekuni cupang untuk bisnis. Selebihnya karena hobi, seperti diakui Rahman, karyawan marketing perusahaan alat berat. Arif Rifai (22), pegawai Departemen Perhubungan, paling suka memotreti cupang-cupang yang sedang berenang. ”Untuk melatih keterampilan motret, he-he-he,” sahutnya.

Minggu, 17 Januari 2010

Ikan Cupang, Keunggulan yang Terabaikan

Ikan cupang hias atau Betta splendens selama ini kerap dipersepsikan sebagai ikan ”murahan” dan banyak ditemukan di rawa, empang, ataupun sawah. Dengan harga jual di pasar minimal Rp 1.000 per ekor, keunggulan ikan—yang juga dikenal dengan sebutan ikan laga ini—sering terabaikan dan hanya dijadikan ikan aduan.

Dalam kurun satu dekade terakhir ikan cupang hias yang banyak berkembang di kawasan Asia Tenggara kian populer di mancanegara. Ikan hias ini sering ditampilkan dalam ajang-ajang promosi dan pameran ikan hias internasional.

Harga ikan kecil yang berukuran 3-5 sentimeter itu bisa mencapai jutaan rupiah per ekor.

Ciri menonjol dari ikan yang gerakannya agresif ini adalah warnanya yang menarik dan indah dengan sirip yang lebar dan bisa mekar.

Jenis ikan cupang hias yang banyak diminati adalah cupang alam (wild betta), selain ikan cupang hasil budidaya.

Popularitas ikan cupang hias kian berkilau seiring dengan semakin beragamnya corak ikan cupang. Ini yang membuat pasar ikan cupang tidak seperti ikan hias lainnya, yang naik turun seiring dengan tren selera peminat ikan hias.

Peminat ikan cupang dari Indonesia juga kian berkembang, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga di pasar internasional.

Pembudidaya ikan cupang hias di Indonesia pun patut berbangga. Produk ikan cupang hias Indonesia tidak kalah dibanding ikan sejenis yang diproduksi oleh Thailand dan China, dua negara yang dikenal sebagai produsen ikan hias dunia.

Ikan cupang hias jenis serit (crown tail) yang asli Indonesia, misalnya, banyak diburu oleh konsumen dari Asia, Amerika Serikat, dan Kanada. Ikan dengan ekor menyerupai sebuah mahkota itu harganya bisa mencapai Rp 1 juta per ekor. ”Ikan cupang serit dari Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan produk serupa dari luar negeri,” ujar Hendy Wijaya, pembudidaya ikan cupang hias.

Kurang promosi

Namun, sayang, keunggulan ikan cupang hias hasil budidaya para peternak dalam negeri tersebut kalah promosi. Akibatnya, banyak pehobi ikan cupang hias yang membeli ikan cupang dari Thailand.

Bahkan, dalam ajang Kontes Ikan Hias Mas Koki dan Cupang di Raiser Ikan Hias Cibinong, Jawa Barat, Agustus 2009, tidak banyak peminat dan pehobi yang datang menyaksikan kontes tingkat nasional itu.

Ketua Panitia Kontes Ikan Hias Mas Koki dan Cupang di Raiser Ikan Hias Cibinong Raymond H Tanner mengemukakan, sarana promosi dan pemasaran ikan mas koki dan cupang hias produksi Indonesia belum optimal sehingga keunggulan ikan hias hasil budidaya dalam negeri itu belum terangkat.

”Masih ada keraguan pasar domestik terhadap kualitas ikan mas koki dan cupang hasil produksi dalam negeri,” ujarnya.

Menurut Hendy, pengembangan ikan cupang hias tidak membutuhkan perawatan khusus. Hanya butuh waktu dan ketekunan dalam proses menjodohkan ikan cupang. Hal ini karena ikan cupang jantan sangat pemilih dalam menentukan pasangan.

”Kalau seekor ikan cupang jantan tidak mau dipasangkan dengan cupang betina, si betina bisa dihajar habis,” ujar Hendy.

Selain itu, pascapemijahan diperlukan pengawasan. Sebab, ada kecenderungan ikan cupang betina yang telah menghasilkan telur akan disingkirkan oleh cupang jantan. Cupang jantan cenderung merawat sendiri telur dan anakan. Sebaliknya, cupang betina cenderung memakan telur hasil pemijahan.

Saat ini, pemasaran sebagian ikan cupang dilakukan melalui internet. Melalui pemasaran berbasis internet itu, produk ikan cupang dalam negeri bisa laku dijual hingga ke benua lain.

Ikan cupang yang diekspor umumnya berkualitas tinggi, yaitu berukuran tubuh lebih dari 4,5 sentimeter, dengan harga jual minimal ratusan ribu rupiah.

”Semakin bagus bentuk tubuh, fisik, dan sirip ikan cupang, harga jualnya makin bagus. Bisnis ini menguntungkan karena tidak ada standar atau patokan harga tertentu. Harga bergantung minat,” ujar Hendy.

Kalah dengan Singapura

Potensi spesies ikan hias di perairan Indonesia tak perlu diragukan. Perairan Indonesia menyimpan tidak kurang dari 4.500 jenis ikan hias air tawar dan ikan hias air laut.

Alam Indonesia juga cocok untuk pengembangan spesies ikan hias yang berasal dari negara lain, seperti mas koki (Carrasius auratus), koi (Cyprinus carpio), dan discus (Symphysodon discus).

Meski memiliki ribuan jenis ikan hias, tetapi dalam perdagangan ikan hias, Indonesia belum ”masuk hitungan”.

Nilai ekspor ikan hias Indonesia tahun 2003-2008 cenderung stagnan. Ekspor ikan hias Indonesia tahun 2008 hanya 9,5 juta dollar AS.

Pangsa pasar Indonesia dalam perdagangan ikan hias global baru 7,5 persen, jauh di bawah Singapura yang menguasai 22,8 persen pangsa pasar ikan hias dunia.

Padahal, data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) 2006 menyebutkan, 90 persen dari kebutuhan ikan hias Singapura disuplai dari Indonesia.

Sabtu, 16 Januari 2010

Cumi-cumi Raksasa Tertangkap Nelayan Australia

Seekor cumi-cumi sepanjang 6 meter tertangkap di Australia. Beratnya juga tak main-main, mencapai 250 kilogram.

Cumi-cumi raksasa tersebut ditangkap para nelayan yang tengah menjaring ikan di pantai tenggara benua paling selatan tersebut. Nahkoda kapal yang bernama Rangi Pene mengatakan bahwa cumi-cumi tersebut telah tewas saat terjerat jaring pada kedalaman 500 meter.

Saat ini cumi-cumi tersebut dikemas dalam kotak penyimpan khusus dan disimpan di ruang pendingin sebuah museum di Portland. Saking besar dan berat ukurannya, untuk mengangkat bangkainya saja dibutuhkan 10 orang.

Paul McCoy, seorang pakar biologi kelautan Australia, mengatakan bangkai cumi-cumi raksasa tersebut akan disimpan sebagai koleksi museum. Analisis yang segera dilakukan akan mengungkap lebih jelas jenis cumi-cumi tersebut, usia, dan mungkin penyebab tewasnya.

Ada beberapa jenis cumi-cumi raksasa yang masih hidup saat ini. Taningia danae adalah jenis cumi-cumi raksasa yang hidup di perairan tropis dan subtropis Lautan Pasifik dan dapat tumbuh hingga 2,3 meter dan berat 61,4 kilogram. Spesies sejenis dari famili Architeuthidae bahkan bisa tumbuh sampai 10 meter.

Sementara cumi-cumi raksasa yang memiliki ukuran terbesar adalah dari jenis cumi-cumi kolosal (Mesonychoteuthis hamiltoni) yang diperkirakan dapat tumbuh hingga 20 meter. Cumi-cumi kolosal yang bangkainya diteliti di Selandia Baru beberapa waktu lalu memiliki mata sebesar bola voli dan lensa mata sebesar buah jeruk.

Cumi-cumi raksasa adalah salah satu makhluk laut yang legendaris dan dikenal sebagai monster laut karena ukurannya. Hewan yang lebih sering terlihat nelayan di lautan lepas juga banyak dikenal sebagai mitos sebagai penyerang agresif yang memiliki tentakel beracun.

Rabu, 13 Januari 2010

Cumi-cumi Raksasa di Selandia Baru Akan Diotopsi

Para ilmuwan kelautan dari Selandia Baru memulai persiapan untuk mengotopsi seekor cumi-cumi raksasa yang ditangkap tahun lalu. Penelitian terhadap cumi-cumi seberat 500 kilogram dan panjang 7,8 meter itu dilakukan untuk mengungkap rahasia salah satu raksasa laut yang masih sangat misterius.

Cumi-cumi tersebut telah dikeluarkan dari kotak es ruang penyimpanannya dan dipindahkan ke dalam tangki berisi larutan garam hari ini. Es juga ditambahkan ke selama tangki agar proses pencairan lambat sehingga bagian tubuh terluar yang masih segar tidak rusak karena keriput.

Setelah mencair seluruhnya, para peneliti akan mempelajari lebih dalam mengenai bentuk anatominya, membedah isi perut dan mulutnya. Sampel jaringan juga akan diambil untuk analisis DNA dan mengidentifikasi jenis kelaminnya. Proses otopsi untuk mengungkap kehidupan cumi-cumi raksasa tersebut rencananya dilakukan mulai Rabu (30/4).

"Jika ternyata diketahui jantan, ini berarti laporan ilmiah pertama mengenai deskripsi jenis jantan dari spesie ini," ujar Steve O'Shea, pakar cumi-cumi dari Universitas Teknologi Auckland yang akan terlibat dalam penelitian. Cumi-cumi kolosal betina pernah diidentifikasi dari spesimen yang ditemukan tahun 2003. Usai otopsi, bangkai cumi-cumi raksasa tersebut akan dipamerkan dalam tangki berisi formalin 900 liter di sebuah museum di Wellington.

Selama ini, cumi-cumi kolosal banyak diberitakan dari cerita dari mulut ke mulut nelayan. Tak ada seorang pun yang pernah melihatnya lansgung pada habitatanya di perairan dalam.

Seorang nelayan tanpa sengaja menangkap seekor cumi-cumi raksasa itu di lepas pantai Antartika pada Februari 2007 saat mengail ikan gigi Patagonia atau ikan bass Chili. Cumi-cumi tersebut terseret ujung kail dari laut dalam ke permukaan karena memangsa ikan tersebut.

Sadar bahwa hasil tangkapannya sangat bernilai, nelayan tersebut mengambilnya dan menjaga kondisinya di atas kapal. Kemudian, museum nasional Te Papa Tongerawa mengambil alih perawatan setelah dilaporkan.

Spesimen tersebut tercatat sebagai spesies Mesonychoteuthis hamiltoni terbesar yang pernah ditangkap. Cumi-cumi kolosal terbesar sebelumnya yang ditemukan tahun 2003 hanya seberat 330 kilogram dan berjenis kelamin betina. Meski demikain, seekor cumi-cumi kolosal diperkirakan dapat tumbuh hingga 13 meter.

Senin, 11 Januari 2010

Cumi Raksasa Terjaring di Teluk Meksiko

Para peneliti secara kebetulan mendapati seekor cumi-cumi raksasa sepanjang 5,9 meter tertangkap dalam jaring mereka di pesisir Lousiana, Teluk Meksiko. Temuan hewan langka di lokasi tersebut menunjukkan banyak hal yang tidak kita ketahui mengenai cumi-cumi raksasa.

Cumi-cumi yang baru terjaring itu beratnya mencapai 46,7 kg. Ia tertangkap tanggal 30 Juli dalam jaring trawl pada kedalaman 450 meter di bawah air yang ditarik kapal peneliti. Namun, hewan itu mati karena tidak bisa menyesuaikan diri terhadap perubahan tekanan pada kedalaman air berbeda saat dibawa ke permukaan.

"Saat jaring pukat itu muncul dari air, saya melihat ada sesuatu yang besar di dalamnya, sangat besar," ujar Anthony Martinez, peneliti mamalia air dari National Oceanic and Atmospheric Administration.

Para peneliti yang sebenarnya sedang meneliti jenis makanan paus sperma itu berniat mengawetkan cumi-cumi yang mereka temukan dan mengirimkannya ke Museum Sejarah Alam Smithsonian untuk diselidiki lebih lanjut.

Cumi-cumi raksasa jarang sekali ditemukan dalam keadaan utuh. Peneliti biasanya hanya menjumpai sisa-sisa tubuhnya dalam perut hewan pemangsanya seperti paus sperma. Hal tersebut menjadikan temuan kali ini sangat berharga karena peneliti bisa mempelajari hewan itu secara lebih lengkap.

Cumi-cumi raksasa bisa mencapai panjang 12 meter dan biasanya ditemukan di laut dalam, seperti di perairan Spanyol dan Selandia Baru. Sebelumnya baru tercatat sekali, yakni pada tahun 1954, seekor cumi-cumi raksasa ditemukan mati terapung di Delta Mississippi, masih di sekitar Teluk Meksiko.

Minggu, 10 Januari 2010

Cumi-cumi Alien Punya Tentakel Seperti Kaki

Jauh di gelapnya laut pada kedalaman 2,5 kilometer ternyata hidup cumi-cumi yang aneh. Cumi-cumi tersebut pantas disebut alien karena bentuk tubuhnya berbeda dengan cumi-cumi umumnya dan belum pernah ditemukan sebelumnya.

Cumi-cumi yang diperkirakan dari kelompok Magnapinna karena memiliki sirip besar itu memiliki tentakel panjang dan besar yang lebih mirip lengan. Bahkan bentuknya mirip kaki bersiku karena di bagian tengahnya dapat menekuk. Panjang tubuhnya sekitar 7 meter.

Dilihat dari perilakunya, lengan yang dimiliknya mungkin sangat kuat. Sebab, dalam hitungan detik, lengan cumi-cumi yang besar tersebut bergerak layaknya belalai gajah dan kemudian sebagian menekuk layaknya kaki yang bersiku.

Sosok cumi-cumi alien itu direkam kapal selam kecil tanpa awak yang membawa kamera bawah air milik perusahaan minyak Shell pada 11 November lalu di Teluk Meksiko sekitar 320 kilometer dari Houston, Texas, AS.

Video tersebut menunjukkan perlunya perhatian perusahaan penambang minyak untuk peduli terhadap pengaruh operasi dan pengeboran lepas pantai terhadap kehidupan bawah air yang belum banyak terjamah manusia.

Rabu, 06 Januari 2010

Mata Cumi-cumi "Monster" Sebesar Bola Voli

Sesuai ukuran tubuhnya yang sangat besar, mata cumi-cumi raksasa yang sedang diotopsi bagkainya di Selandia Baru juga demikian. Bahkan, mata cumi-cumi jenis kolosal tersebut mungkin mata hewan terbesar di dunia saat ini.

Betapa tidak, matanya berdiameter 27,5 centimeter atau hampir sebesar bola voli. Lingkaran lensa matanya saja sebesar buah jeruk. Salah satu matanya terlihat masih utuh saat lapisan es yang melindunginya mulai mencair sedikit demi sedikit dalam sebuah tangki penelitian di museum nasional Selandia Baru, Te Papa Tongerawa.

"Ini satu-satunya sampel mata yang utuh dari seekor cumi-cumi kolosal yang pernah ditemukan. Sungguh spektakuler. Ini adalah mata terbesar yang pernah diketahui di sunia hewan," ujar Kat Bolstad, pakar dari Universitas Teknologi Auckland, salah satu anggota tim ilmuwan yang tengah mempelajari bangkai cumi-cumi "monster" yang ditangkap seorang nelayan tanpa sengaja dari perairan Antartika Kutub Selatan tahun lalu.

Cumi-cumi tersebut merupakan spesimen terbesar spesies Mesonychoteuthis hamiltoni, jenis cumi-cumi raksasa yang masih sangat misterius karena hidup di laut dalam. Saat ditangkap, ukuran tubuhnya lebih dari delapan meter dan berat setengah ton, namun para ilmuwan memperkirakan jenis cumi-cumi ini dapat tumbuh lebih besar hingga 13 meter.

Hanya sedikit informasi mengenai kehidupan cumi-cumi tersebut. Selama ini, cumi-cumi raksasa dikenal sebagai makhluk agresif dan mampu bertahan hidup di kedalaman hingga 2000 meter.

Hasil otopsi yang dilakukan secara intensif sejak Rabu (30/4) menunjukkan bahwa cumi-cumi tersebut berjenis kelamin betina. Dalam kantung ovariumnya juga ditemukan beberapa ribu telur. Hasil otopsi akan menguak anatomi dan rahasia kehidupan cumi-cumi "monster" tersebut.

Senin, 04 Januari 2010

Monster Fish, Golongan Ikan Preman

Apa yang terbayang di benak Anda saat mendengar kata monster fish? Menyeramkan kah? Ya, monster fish memang menyeramkan bagi ikan-ikan kecil yang menjadi makanan ikan-ikan monster ini. Sebagian besar ikan yang tergolong monster fish adalah ikan air tawar predator atau pemburu ikan lainnya. Selain itu, ukuran tubuh monster fish tergolong besar seperti ikan Arapaima gigas yang bisa mencapai 11 meter. Istimewanya, ikan golongan monster fish ini termasuk langka di pasaran.

Begitulah yang disampaikan Hanung, seorang penggemar ikan golongan monster fish di pameran ikan hias, reptil, dan tanaman Indonesian Pets Plants Aquatic Expo 2009 yang digelar di WTC Mangga Dua Jakarta, Sabtu (12/12/2009). "Ya itu pasti jadi pertanyaan orang. Karena sebagian besar predator. Bentuknya bisa besar, terbesar 11 meter, Arapaima, langka banget. Bisa juga karena di pasaran masih belum umum. Di Amerika, Arowana kan belum umum, jadi digolongkan monster fish juga, kalau di Indonesia kan sudah terpisah," ujar Hanung.

Selain Arapairma ada beberapa ikan yang juga tergolong monster fish seperti Tiger Fish dari Kalimantan, Piranha, Pari Motoro, Lung Fish, Tetraodon Fahaka, Tetraodon mbu, Pacman Catfish, dan Hoplias malabaricus yang memakan Piranha. Sebagian besar ikan monster fish yang dipamerkan Hanung didatangkan dari Amazon dan Afrika. "Ada sih yang ternak, tapi sedikit sekali, seperti piranha," ujar Hanung.

Di Indonesia, jenis ikan ini belum popular, padahal monster fish tergolong mudah di pelihara dan bentuknya unik. "Perawatannya gak ribet. Karena ikan predator kan kayak preman, masak ikan preman cengeng," ujar Kamil yang juga hobiis monster fish dalam kesempatan yang sama.

Hal yang perlu diperhatikan saat memelihara monster fish adalah menjaga suhu dan kadar keasaman air karena sebagian besar monster fish berasal dari luar Indonesia. Untuk suhu air, idealnya 28 derajat Celcius dengan kadar keasaman 6-7. Untuk makanannya, monster fish cukup diberi makan ikan kecil, udang, kepiting, atau sejenis daging lainnya. "Selama itu masih danging, gak masalah," kata Hanung.

Monster fish adalah salah satu jenis ikan yang dipamerkan dalam Indonesian Pets Plants Aquatic Expo 2009 yang digelar 5-13 Desember di WTC Mangga Dua Jakarta. Selain memamerkan beberapa jenis ikan, pameran ini juga memungkinkan pengunjung melihat-lihat reptil dan tanaman hias.

Sabtu, 02 Januari 2010

HIU TUTUL SEPANJANG 5,5 METER

Surabaya - Untuk kedelapan kalinya, hiu tutul kembali terjaring jaring nelayan Nambangan Kenjeran. Ikan hiu dengan panjang sekitar 5,5 meter, dan lebar 1,5 meter ini pun menjadi tontotan warga.

Ikan yang saat ini masih hidup itu tertangkap jaring milik Abdul Hamid (52) ketika mencari ikan di Selat Madura. Tertangkapnya ikan tersebut awalnya tidak disadari oleh bapak tiga anak ini.

"Saya tidak menyangka kalau jaring ikan saya menangkap ikan hiu tutul. Awalnya saya tidak tahu, tahunya ketika saya akan menarik jaring dan terasa berat," katanya kepada detiksurabaya.com di Nambangan, Kenjeran Surabaya, Minggu (29/11/2009).

Akhirnya pria yang sudah menjadi nelayan sejak 15 tahun lalu ini meminta tolong kepada kapal nelayan lainnya untuk menariknya ke pinggir. "Tadi ada 9 kapal untuk menarik ke pinggir. Ditemukan pukul 12.00 WIB serta butuh waktu 2 jam," imbuhnya.

Dari pengamatan detiksurabaya.com, ikan dengan panjang 5,5 meter ini akan dibiarkan di pinggir pantai untuk dipertontonkan. Bahkan dijadikan ajang untuk mencari sumbangan pembangunan masjid didaerah tersebut.


Ribuan Ikan Sepanjang Aliran Sungai Mati

Ilustrasi
Kamis, 3 Desember 2009 | 18:35 WIB

BANTUL, KOMPAS.com - Ribuan ikan ukuran besar dan kecil di sepanjang aliran sungai Dusun Ngepet, Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis diketahui mati yang diduga akibat ulah pencari ikan menggunakan racun.

"Berdasarkan laporan dari Kelompok Pengawas Masyarakat, dugaan sementara ikan yang mati itu memang akibat racun semacam apotas yang sengaja disebar di aliran sungai untuk memperoleh ikan dengan cara mudah," kata Kepala Bidang Perikan Budidaya, Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Kabupaten Bantul Bambang Pin Erwanta, Kamis (3/12).

Menurut dia, berdasarkan ciri fisik yang ada pada ikan yang ditemukan mati seperti pucat dan ingsang berwarna coklat maka kuat dugaan akibat terkena racun apotas.

"Kami perkirakan pelaku menebar apotas pada Rabu kemarin dan ikan baru diketahui mati hari ini setelah terdapat banyak ikan yang mengambang di permukaan sungai," katanya.

Pihaknya saat ini belum akan memikirkan memberikan ganti rugi karena ikan yang mati bukanlah milik kelompok petani ikan atau warga setempat namun ikan yang hidup sepanjang aliran sungai.

"Sebenarnya untuk mencari ikan ada aturan yang melarang ikan diberi racun apotas namun hanya dijaring atau dipancing karena ikan yang diracun juga sangat berisiko jika dikonsumsi manusia," katanya.

Sementara itu, Ketua Kelompok Petani Ikan Air Payau Mugari mengatakan ribuan ikan yang mati terdiri berbagai jenis seperti nila, keting, tawes dan bawal air tawar.

"Kami khawatir jika air dari sungai yang tercemar racun tersebut juga masuk ke area laguna karena dapat mengancam ikan yang dibudayakan masyarakat," katanya.

Kapolsek Sanden AKP Darmanto menyatakan pihaknya telah melakukan penyelidikan dugaan ribuan ikan mati akibat racun apotas yang sengaja disebar di aliran sungai.

"Kami langsung mengadakan penyelidikan atas kasus tersebut namun untuk racun yang digunakan kami belum dapat menentukan jenisnya," katanya.

Jumat, 01 Januari 2010

Warga Jepang Antusias Lihat Ikan Purba

Ikan purba, Coelacanth, dikenal masyarakat sebagai Raja Laut asal Manado (Latimeria Menadoensis) yang berusia 35 juta tahun disambut antusias warga Jepang ketika ikan itu dipamerkan di Aquamarine Fukushima, Jepang.

Gubernur Sulawesi Utara SH Sarundajang di Manado, Kamis (17/4) menyatakan kebanggaannya, karena Coelacanth yang hidup di Teluk Manado itu menarik minat masyarakat negeri Sakura. “Selain Bunaken dan Tarcius, kita kini punya Coelacanth yang menjadi ikon pariwisata Sulut,” kata Sarundajang.