Cari Uang dari Internet ?, KAD solusinya. PTC Tertua, Terpercaya dan Terbaik Di Indonesia

Popular 1:1 Traffic Exchange

Rabu, 30 Desember 2009

Raja Ikan Indonesia Nampang di Jepang

Ikan purba Indonesia yang berusia 35 juta tahun dan dikenal dengan nama sebutan "Raja Laut" atau Coelacanth, dipamerkan kepada publik Jepang di Aquamarine Fukushima, selama dua hari sejak Sabtu (12/4) lalu.

Menurut Direktur Eksekutif Aquamarina Fukushima, Yoshotaka Abe, pihaknya meminjam ikan yang berasal dari perairan di Teluk Manado, Sulawesi Utara, untuk melengkapi sementara koleksi yang ada dan memberikan pengetahuan kepada masyarakat Jepang mengenai kekayaan alam dan ikan di laut.

Selain itu, kata Abe, pameran mengenai ikan Raja Laut itu juga bertepatan dengan peringatan 50 tahun hubungan Indonesia Jepang, sehingga melalui pameran keilmuan dan rekreasi ini bisa diperkenalkan mengenai Indonesia dan kekayaan alamnya yang luar biasa. "Ini tentu saja amat menarik masyarakat Jepang yang juga merupakan negara kelautan," katanya.

Pengunjung yang datang ke kompleks bernama resmi Fukushima Ocean Scientific Museum itu, terlihat antusias menyaksikan ikan purba yang berusia 35 juta tahun tersebut.

Meskipun tidak lagi dalam keadaan hidup, ikan dengan nama "Latimeria Menadoensis" itu tetap banyak menarik minat orang sehingga berdesak-desakan hanya untuk menyaksikan jasad ikan purba yang amat langka tersebut.

Menurut Prof Dr Kawilatang Masengi, Dekan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado, upaya mendatangkan ikan Coelacanth merupakan kerja sama yang kesekian kalinya dengan pihak Jepang, khususnya Aquamarine Fukushima, yang juga memiliki banyak perhatian terhadap konservasi hewan langka dan juga menjadi pusat penelitian masalah kelautan.

"Kerja sama lainnya yang sudah dilakukan selama ini adalah untuk riset dan saat ini semakin dirasakan penting. Apalagi dengan terjadinya pemasanan global seperti sekarang ini," katanya.

Ia menambahkan bahwa Indonesia dan Jepang juga perlu bersama-sama meningkatkan kegiatan riset sehingga bisa memperkaya kegiatan konservasi kelautan kedua negara.

Aquarium Fukushima yang berlokasi di pusat kota Fukushima (sekitar 250 km utara Tokyo) itu juga ikut melestarikan species ikan langka dan tumbuhan langka lainnya. Selain sebagai museum dan tempat rekreasi, Aquamarine juga menjadi pusat riset kelautan di Jepang.

Ikan Coelacanth berhabitat di lautan dalam, 700 meter di bawah laut, namun kadang-kadang bisa berada di kedalaman laut 200 meter. Ikan yang biasa hidup sekitar 360 juta tahun lalu itu rata-rata memiliki panjang 1-2 meter dan berwarna biru. Ia ditemukan juga di sejumlah perairan dunia seperti di Komoro, Madagskar, Tanzania dan Afrika Selatan.

Raja laut versi Indonesia ini juga tergolong sebagai species yang unik karena warna kulitnya bukanlah kebiruan, seperti umumnya ikan Coelacanth, melainkan berwarna coklat.(Ant)

Sabtu, 26 Desember 2009

Ikan Purba Diburu Nelayan

Ikan purba coelacanth (Latimeria manadoensis) yang hidup di sekitar perairan Sulawesi disinyalir diburu para nelayan untuk diperdagangkan. Ikan yang dilindungi tersebut, sebagian ada yang diserahkan ke Pemerintah Sulawesi Utara dengan meminta imbalan uang jutaan rupiah.

Kepala Dinas Perikanan Sulawesi Utara Xandramaya Lalu di Manado, Rabu (3/12), mengatakan, beberapa nelayan yang menyerahkan ikan purba hasil tangkapan mereka meminta imbalan sampai Rp 10 juta per ekor.

Pengamat ikan purba, Anthony Malinsang, mengatakan, ikan purba hidup pada kedalaman laut 150 meter hingga 1.000 meter. Berdasarkan data penelitian dengan menggunakan Remotely Operated Vehicle (ROV), dalam 3 tahun terakhir, terekam sebanyak tujuh ekor ikan coelacanth di perairan Sulawesi.

Ikan purba itu menjadi maskot pelaksanaan World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado. Coelacanth yang ditemukan rata-rata berbobot sekitar 10 kilogram, tebal 20 sentimeter, panjang 98 cm, dan lebar bagian belakang 21 cm.

Coelacanth diperkirakan muncul di bumi pertama kali sekitar 360 juta tahun pada zaman Paleozoikum, atau tepatnya 100 juta tahun sebelum lahirnya dinosaurus di masa Jurassic.

Coelacanth pertama kali ditemukan di perairan East London, Afrika Selatan, pada tahun 1938. Berdasarkan penemuan ini, coelacanth kemudian disebut sebagai fosil hidup dan diberi nama ilmiah Latimeria chalumnae serta dinyatakan sebagai penemuan zoologi terbesar di abad ke-20.

Coelacanth juga ternyata ditemukan di sekitar perairan Sulawesi. ”Namun, perlindungan terhadap ikan purba ini sangat lemah. Mestinya ada peraturan daerah yang melarang penangkapan dan perdagangan ikan langka ini,” kata Anthony Malinsang.

Selasa, 22 Desember 2009

Populasi Coelacanth Harus Dilindungi

Sejak ditemukan sepuluh tahun yang lalu di perairan Manado Tua, Sulawesi, Ikan Raja Laut atau yang lazim disebut Coelacanth, membuat nama Indonesia menjadi buah bibir di kalangan peneliti ikan di seluruh dunia, khususnya ikan purba.

Menurut Peneliti Bidang Oceanografi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Augy Syahailatua PhD, ikan ini baru ditemukan di negara-negara Afrika Timur seperti Kenya, Madagaskar, Tanzania, Kongo, dan Mozambik, serta di Indonesia. Oleh karena itu keberadaanya perlu dilindungi sebagai satwa langka dari kepunahan maupun tindak pencurian.

"Untunglah sejak tahun 1999 sudah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1999 yang melarang ikan ini dijadikan sebagai komoditas yang diperjual-belikan secara bebas," ujar Augy, dalam workshop mengenai Coelacanth di Gedung LIPI, Jakarta, Selasa (16/12).

Selain itu, keberadaan Coelacanth juga dilindungi Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (Cites) secara hukum internasional. "Jadi misalkan ada pihak asing yang membeli Coelacanth secara ilegal dari Indonesia, bila ketahuan, maka kami akan usut dan memintanya untuk mengembalikannya ke Indonesia," katanya.

Coelacanth, sebelumnya dikenal orang hanya sebagai fosil Ikan yang banyak ditemukan di daratan Eropa, Namun sejak Ikan ini ditemukan di perairan Comoros, banyak orang berpendapat bahwa ikan ini masih ada. Di Indonesia awal kabar ikan ini berasal dari laporan Dr. Mark V. Erdmann, peneliti dari Universitas of California Berkeley, Amerika Serikat, yang menjumpai di Pasar Bersehati, Manado, dalam keadaan mati.

"Setahun kemudian seorang nelayan di Manado secara kebetulan menangkap seekor Coelacanth, yang kemudian dibawa dan diawetkan di Museum Zoologi LIPI di Bogor. Dalam rentang 2008 ini, sudah empat spesimen ditemukan di Perairan Sulawesi, khususnya, Sulawesi bagian utara," lanjutnya.

Jumat, 18 Desember 2009

Sekilas "Si Fosil Hidup" Ikan Coelacanth

Hidup di bumi sejak era Devonia sekitar 380 juta tahun silam dan tidak berevolusi. Ini lebih tua dari dinosaurus (200 juta tahun silam).

Di dunia ada dua spesies (Latimeria chalumnae dan Latimeria menadoensis). Spesies L. chalumnae ditemukan pertama kali di Kepulauan Komoro, Afrika, tahun 1938. Spesies L. menadoensis ditemukan pertama di Manado, Sulut, tahun 1998.

Para ahli menduga coelacanth sudah punah sejak 10 juta tahun silam. Coelacanth ditemukan di Benua Atrika, yakni Kenya, Tanzania, Komoro, Mozambik, Madagaskar, dan Afrika Selatan, serta Indonesia (Tolitoli di Sulawesi Tengah, dan Manado serta Bunaken di Sulut).

Ikan ini hidup pada kedalaman 150-200 meter pada suhu 12-18 derajat celsius di relung-relung goa batuan lava. Merupakan predator yang karnivor dengan memangsa ikan-ikan kecil pada malam hari.

Coelacanth ditempatkan sejajar dengan jenis ikan yang bernapas dengan paru-paru (lungfish) dan amfibi primitif pada pohon keluarga ikan-ikan bertulang. Telur coelacanth menetas di dalam perut, tetapi bukan tergolong mamalia laut.

Masih banyak hal belum diketahui mengenai ikan ini karena teramat langka. Struktur tubuhnya memiliki sirip perut (pectoral), sirip dada (pelvic), anal dan punggung yang menjuntai seperti tangan manusia. Panjangnya bisa mencapai 1,5 meter dengan berat 40 kg.

Kamis, 17 Desember 2009

Tabir evolusi

Ketertarikan dunia terhadap coelacanth di antaranya karena misteri evolusinya. Para ahli yakin coelacanth tidak berevolusi selama ratusan juta tahun.

Hal itu pula yang membuat Aquamarine Fukushima tertarik mengoleksinya, baik hidup maupun mati. Agus mengakui, banyak hal yang belum diketahui mengenai ikan tersebut.

Popularitas ikan fosil purba itu melonjak tahun 1998 ketika pasangan peneliti dari AS menjumpai coelacanth di pasar ikan Manado. Informasi itu segera menyebar ke seluruh dunia.

Menurut Augy, karakteristik bawah laut Sulawesi Tengah (Tolitoli) hingga Biak sangat cocok dengan coelacanth. Namun, data ilmiah masih minim.

Rabu, 16 Desember 2009

Penelitian Ikan Purba Coelacanth Dilanjutkan

Penelitian ikan fosil purba coelacanth di perairan Manado, Sulawesi Utara, tahun 2009 ini direncanakan dilaksanakan pada bulan Juli. Tim dari Fukushima Aquamarine Jepang, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Universitas Sam Ratulangi, Manado, akan bergabung.

”Kami sedang mengurus kedatangan peralatan, termasuk wahana bawah laut tanpa awak,” kata Direktur Sumber Daya Laut Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Augy Syahailatua di Jakarta, Senin (8/6). Rencananya, penelitian itu akan difokuskan di kawasan perairan Manado tua, lokasi penemuan coelacanth oleh nelayan dua tahun lalu.

Penelitian bersama tersebut merupakan penelitian rutin tahunan. Tahun 2008, dari puluhan jam penyelaman selama dua pekan, tak satu pun ikan purba tertangkap gambar melalui wahana khusus.

Tahun 2007, dari 92 kali pengoperasian wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle) selama 52 jam 55 menit, hanya sekali perjumpaan di perairan Malalayang, Manado, selama 32 menit di kedalaman hampir 200 meter.

Pihak Aquamarine Fukushima, Jepang, mengakui, mereka sangat berminat mengetahui seluk-beluk ikan fosil purba, mulai dari karakter habitat hingga perilakunya. Karena itu, mereka rutin mengadakan ekspedisi selam dalam atau seminar mengenai coelacanth.

Peneliti ikan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Agus H Tjakrawidaja, mengatakan, Jepang sangat berminat mengoleksi ikan fosil purba yang hanya hidup di perairan Sulawesi Utara, Indonesia, dan pesisir barat Afrika itu.

Bahkan, pernah ada upaya dari Jepang untuk memiliki spesimen basah ikan purba, yang kini dikoleksi di Puslit Biologi, LIPI. Namun, upaya itu gagal karena ada keberatan dari peneliti.

Selasa, 15 Desember 2009

Si Raja Laut Mulai Diteliti Lebih Dalam

Diam-diam, Indonesia memendam kekayaan alam yang melegenda. Selain komodo, kini ditemukan juga ikan purba Coelacanth yang disebut sebagai Raja Laut atau King of The Sea.

Ikan yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada tahun 1938 ini telah memupus anggapan para ilmuwan bahwa ikan purba ini telah punah 65 juta tahun lalu. Tahun 1998, Coelacanth kembali ditemukan di Pulau Manado Tua, Sulawesi Utara yang kemudian diberi nama Latimeria chalumnae.

Untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap sosialisasi ikan purba berlidah ini, SeaWorld Indonesia bekerja sama dengan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) akan melakukan penelitian lebih dalam terhadap spesimen ikan tersebut. Spesimen ketiga yang ditemukan di perairan Pulau Talise, Manado pada tanggal 25 November 2008 inilah yang akan diteliti oleh tim peneliti.

Sebelumnya, penelitian serupa telah dilakukan oleh para peneliti Jepang. Namun untuk pertama kalinya penelitian ikan ini akan didukung oleh para peneliti dari dalam negeri.

"Saya bertekad tim kali ini 100 persen murni para peneliti Indonesia. Ini adalah ajang kita untuk unjuk gigi bahwa kita juga bisa setara dengan peneliti asing," ujar Dr. Sudarto, Ketua Peneliti dalam konferensi pers Preservasi dan Pengamanan Sampel Ilmiah Coelacanth, Selasa (11/8).

Tim peneliti tersebut akan melakukan pembedahan terhadap ikan ini untuk meneliti semua karakter yang ada pada ikan tersebut seperti morfologi, genetika, reproduksi, nutrisi, DNA, dan lain-lain. Setelah dibedah, ikan ini akan dijahit kembali kemudian diawetkan dalam formalin.

Fisik ikan yang mempunyai panjang 111,1 cm dan berat 21 kg ini akan dipamerkan di SeaWorld, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Hasil penelitiannya akan menambah koleksi ilmiah di sana.

"Kita beruntung bisa punya fisiknya. Kalau di luar negeri hanya ada informasi-informasinya saja berupa foto-foto dan film-film," tutur Yongki E. Salim, Presiden Direktur PT. SeaWorld Indonesia.

Dia menambahkan, tim peneliti ini akan membuat sesuatu yang besar dan akan membuat sejarah untuk bangsa ini. Semoga hasilnya dapat berguna bagi anak bangsa.

Senin, 14 Desember 2009

Ikan Purba Coelacanth Ditemukan Lagi

Peneliti Indonesia dan peneliti dari Fukushima Aquamarine, Jepang, Senin siang tadi menemukan keberadaan ikan purba coelacanth di perairan Talise, Minahasa Utara, pada kedalaman 155 meter. Ikan ditemukan pada hari pertama tim yang bekerjasama beberapa kali itu memulai penelitiannya menggunakan wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle/ROV).

Pada siarannya melalui surat elektronik Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FPIK) Universitas Sam Ratulangi Prof Alex Masengi mengatakan, perjumpaan itu terjadi pada jam pertama penelitian di hari pertama. "Ikan dalam keadaan hidup dan tetap bebas di habitatnya," tulisnya.

Kelompok peneliti yang sama, 27 Juni 2007 lalu, juga menemukan ikan coelacanth di perairan Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara. Pada kedalaman 190 meter. Secara teori, habitat ikan coelacanth berada pada kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat Celsius.

Ikan coelacanth hanya hidup di kawasan perairan barat Afrika Selatan dan kawasan timur Indonesia. Ikan coelacanth juga disebut sebagai ikan purba, karena diduga sudah ada sejak era Devonian sekitar 380 juta tahun silam. Dan, hingga kini bentuknya tidak berubah.

Para ahli sepakat, berbagai keunikan yang ada pada coelacanth yang belum terungkap merupakan kunci tabir evolusi makhluk bawah air. Karenanya, banyak ahli ikan dunia berlomba-lomba meneliti dan mengoleksi ikan tersebut, termasuk Jepang.

Minggu, 13 Desember 2009

Biarkan Ikan Purba Itu Berbiak di Perairan Sulawesi Utara

Perairan Sulawesi Utara (Sulut) layak dijadikan konservasi ikan purba Coelacanth, sejalan dengan cukup seringnya ikan jenis itu ditemukan di wilayah tersebut.

"Beberapa tahun terakhir di perairan Sulut ditemukan ikan purba Coelacanth, makanya perlu diberi perhatian serius sehingga ikan tersebut tidak punah," kata Heard Runtuwene, peneliti dari Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Kamis (24/9).

Coelacanth adalah ikan yang berasal dari sebuah cabang evolusi tertua yang masih hidup dari ikan berahang. Sebelumnya, ikan tersebut sempat diperkirakan sudah punah sejak akhir masa Cretaceous 65 juta tahun lalu, sampai sebuah spesimen kemudian ditemukan di Timur Afrika Selatan, di perairan Sungai Chalumna tahun 1938.

Di Indonesia, khususnya di sekitar perairan Manado dan Minahasa Utara, spesies ini oleh masyarakat lokal dinamai ikan raja laut. Coelacanth terdiri atas sekitar 120 spesies yang diketahui berdasarkan penemuan fosil.

Setelah penemuan pada tahun 2007 lalu oleh nelayan di Manado, pada 2009 kembali ditemukan di perairan Minahasa Utara melalui survei yang dilakukan Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan Unsrat, LIPI, dan Fukushima Aquarime.

"Ditemukannya ikan purba di perairan Sulut menandakan wilayah kita masih diselimuti beragam ikan unik dan purba," katanya.

Temuan di perairan Minahasa Utara pada 16 September 2009 itu berawal dari tersangkutnya ikan purba itu pada jaring seorang nelayan di Pulau Talise. Ikan yang terjaring saat itu memiliki panjang tubuh 114,5 sentimeter, dengan berat 27 kg.

Usulan perairan Sulut layak dijadikan daerah konservasi mendapat dukungan resmi dari DPRD Sulut, dengan meminta pemerintah daerah dapat memberikan perhatian serius. "Perairan Sulut menggambarkan penuh dengan kekayaan sumber daya hayati serta menyimpan sejarah penting bagi dunia kelautan," kata Benny Rhamdani, anggota DPRD Sulut.

Jumat, 11 Desember 2009

Wow... Seekor Anakan Ikan Purba Terekam Kamera

Kehidupan Coelacanth, yang sering disebut ikan purba karena diduga punah sejak zaman prasejarah, kembali terekam kamera di perairan Teluk Manado, Sulawesi Utara. Rekaman kali ini sangat unik karena yang terlihat adalah sosok anakan ikan tersebut.

Sosok ikan Coelacanth yang terekam itu diperkirakan memiliki panjang 31,5 cm dengan warna sisik biru dan bercak-bercak putih. Anakan ikan purba tersebut tengah berenang dengan lambat di dekat dinding batu di dasar laut.

Video berdurasi 20 menit itu dibuat para peneliti Jepang yang tengah melakukan penelitian bersama para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Universitas Sam Ratulangi Manado menggunakan robot bawah air. Rekaman tersebut dibuat pada 6 Oktober 2009 pada kedalaman 161 meter.

"Sejauh yang kami tahu, ini merupakan video pertama yang merekam anakan Coelacanth, makhluk yang masih misterius," ujar Masamitsu Iwata, seorang peneliti dari Aquamarine Fukushima di Iwaki, Jepang, saat mengumumkannya Selasa (17/11), seperti dilansir AFP.

Penemuan anakan ini menunjukkan bahwa ikan purba masih berkembang dengan baik di perairan Sulawesi. Namun, para ilmuwan juga berharap temuan ini memberi gambaran baru dan kepedulian semua pihak agar habitat ikan tersebut dijaga dari kerusakan.

Anakan ikan purba sebelumnya pernah ditemukan dalam perut ikan purba betina yang tertangkap di daerah tersebut. Diyakini, ikan purba mengandung telurnya sampai siap menetas untuk dilahirkan.

Kehidupan ikan Coelacanth sampai saat ini memang masih menyimpan banyak misteri. Para ilmuwan sebelumnya menganggap ikan ini telah punah sejak jutaan tahun silam dari bukti fosil yang ditemukan. Namun, pada tahun 1938, spesies yang sama ditemukan dalam keadaan hidup di perairan barat Afrika Selatan dan menyusul penemuan lainnya di Manado pada 1999. Oleh karena itu, ikan Coelacanth sering disebut fosil hidup.

Selasa, 08 Desember 2009

Kunci evolusi

Para ahli sepakat, berbagai keunikan coelacanth, yang belum seluruhnya terungkap, merupakan kunci penting mengungkap tabir evolusi makhluk bawah air. Alasan itu pulalah yang membuat pihak Jepang berupaya keras mengetahui seluk-beluk ikan fosil hidup itu.

Selain di Indonesia, Aquamarine Fukushima juga memiliki proyek survei lapangan di Afrika Selatan dan Tanzania. Tujuan survei itu adalah memfilmkan coelacanth di habitat aslinya.

Proyek jangka panjang yang fokus pada coelacanth itu disebut proyek ”Greeneye”. Selain survei lapangan, aktivitas proyek diikuti lokakarya dan simposium internasional serta ekshibisi khusus, termasuk mendatangkan awetan coelacanth ke Jepang selama sekitar tiga bulan.

Hingga tahun 2008, Jepang masih berupaya memiliki awetan basah coelacanth yang kini disimpan di Museum Biologi LIPI. Namun, masih ada penolakan dari peneliti.

Menyadari potensi besar coelacanth, yang mewakili kekayaan sumber daya hayati laut Tanah Air, Indonesia menjadikan ikan fosil hidup sebagai maskot Konferensi Kelautan Sedunia dan Pertemuan Segitiga Terumbu Karang (WOC-CTI Summit) pada 11-15 Mei 2009 di Manado.

Di Indonesia, setidaknya ada dua awetan basah coelacanth, yakni yang disimpan di Museum Biologi LIPI di Cibinong dan di Manado. Coelacanth menunjukkan bahwa kekayaan laut Indonesia sekaligus keterbatasan pengelolaan dan penelitian kelautan di Tanah Air.

Kamis, 03 Desember 2009

Fosil hidup ”bertangan”

Para ahli menyebut ikan coelacanth sebagai ikan purba. Alasannya, ikan itu diyakini sudah ada di bumi sejak era Devonia sekitar 380 juta tahun silam. Hingga kini, bentuknya tidak berubah alias tidak berevolusi!

”Coelacanth juga disebut ikan fosil hidup,” kata peneliti ikan Pusat Penelitian Biologi LIPI, Agus H Tjakrawidjaja. Bersama satu peneliti Perancis dan beberapa peneliti Indonesia lainnya, Agus mengidentifikasi ikan coelacanth pertama di Indonesia ditemukan tahun 1998 di Manado, Sulut.

Hasilnya, ikan tersebut merupakan jenis baru yang kemudian disebut Latimeria menadoensis dan dipublikasikan di jurnal ilmiah Perancis, Comtes Rendus de L’Academie des Sience (24 Mei 1999). Identifikasi taksonomi itu mengejutkan ahli zoologi sedunia karena sejak tahun 1940 dunia hanya mengenal satu spesies coelacanth (Latimeria chalumnae) yang ditemukan di barat Madagaskar (1938), sekitar 10.000 kilometer dari Manado.

Ada kisah menarik di balik penerbitan spesies baru dari Manado itu. Agus mengisahkan, kelompok peneliti di Indonesia bersaing dengan peneliti dari Amerika Serikat, yang disebut-sebut menghalangi publikasinya di jurnal bergengsi, Nature. ”Toh, akhirnya bisa juga.”

Secara fisik, sekilas fosil hidup tampak seperti ikan kerapu macan. Loreng-loreng gelap bergigi tajam.

Keunikan paling nyata adalah keberadaan sepasang sirip dada, sirip perut, satu sirip anal (bagian belakang bawah), dan satu sirip punggung yang tidak menyatu dengan tubuh, tetapi menjulur seperti tungkai layaknya tangan manusia.

Untuk tetap pada posisinya, coelacanth menggerakkan sirip perut dan sirip dadanya seperti dayung. Gerakan maju datang dari sirip anal dan sirip punggung belakang.

Ada dugaan, coelacanth dapat bergerak mundur, tetapi belum ada publikasi mengenai kebenarannya. Yang pasti, seperti dikatakan Agus, rahang atas coelacanth dapat bergerak membuka seperti rahang bawah.

Peneliti ikan LIPI lainnya, Haryono, mengaku belum pernah melihat ikan dengan kemampuan membuka rahang bagian atas seperti coelacanth. Dengan kemampuan itu, coelacanth, ikan karnivora, dimungkinkan memangsa ikan yang lebih besar.

Agus menambahkan, coelacanth menetaskan telurnya di dalam perut, bukan di luar tubuhnya. ”Namun, ia tetap bukan mamalia air,” katanya.

Di dunia, habitat coelacanth diketahui di pantai Afrika, yakni Kenya, Tanzania, Mozambik, Madagaskar, dan Afrika Selatan, serta Indonesia. Di Indonesia, sebaran coelacanth mulai dari Buol, Tolitoli, Sulawesi Tengah, hingga Manado, Sulawesi Utara, sekitar 400 kilometer.

Penelitian Aquamarine Fukushima di kedalaman laut di kawasan itu (2006-2007) merekam tujuh coelacanth. Seluruhnya di kedalaman lebih dari 120 meter dengan suhu antara 12 C dan 17 C.

”Kami menduga, coelacanth juga ada di perairan Biak,” kata Augy. Pertimbangannya, kondisi bawah lautnya memiliki kemiripan dengan Sulut; berpalung dengan goa-goa batuan lava.

Minggu, 29 November 2009

Coelacanth, Ikan "Bertangan"

Tak butuh waktu lama untuk sebuah kejutan langka, seperti dialami peneliti oseanografi LIPI, Augy Syahailatua, ketika bersama peneliti lain melihat langsung keberadaan ikan purba coelacanth.

Kejutan itu terjadi pada siang hari tanggal 27 Juni 2007 di Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara.

Siang terik itu, kapal kayu peneliti baru sekitar 30 menit bergerak dari pantai Kota Manado. Kurang 500 meter dari tepian pantai, wahana bawah laut tanpa awak atau remotely operated vehicle (ROV) menangkap obyek utama penelitian ikan coelacanth. Data ROV mencatat, obyek berada di kedalaman 190,2 meter hingga 195 meter. ”Kami beruntung. Tentu gembira sekaligus terkejut,” kenang Augy.

Kenapa disebut beruntung dan terkejut? Berdasarkan catatan resmi survei biologi museum ilmu kelautan Aquamarine Fukushima, Jepang, pihak yang getol meneliti coelacanth, itulah satu-satunya perjumpaan pada survei lapangan periode 27 Juni-12 Juli 2007. Dari 92 kali pengoperasian ROV (total waktu penyelaman 54 jam 55 menit), hanya terjadi satu perjumpaan selama 32 menit tersebut.

Secara total, ROV yang dibawa tim Aquamarine Fukushima telah merekam delapan kali perjumpaan pada periode tahun 2006-2007. Tahun 2008, tak satu perjumpaan pun terjadi.

Menemukan keberadaan ikan coelacanth memang tidak mudah. Bahkan, bisa dibilang sulit dan berongkos mahal.

Informasi ilmiah menyebutkan, habitat ikan coelacanth berada pada kedalaman lebih dari 180 meter dengan suhu air laut maksimal 18 derajat celsius. Pada perjumpaan 27 Juni 2007, ROV merekam coelacanth sedang berdiam di mulut goa batuan lava bawah laut.

Pergerakan sekaligus sorot lampu ROV tidak mengejutkan coelacanth. Puluhan menit berdiam seperti menggantung di mulut goa, coelacanth kemudian berenang perlahan dan menghilang di antara celah-celah goa.

Selasa, 10 November 2009

KANDIHIN

Enam belas tahun yang lalu, tepatnya Juni hingga Agustus 1993 saya sempat datang ke desa ini dalam rangka menunaikan tugas kampus yakni Kuliah Kerja Nyata. Sungguh sangat berkesan, hingga sampai kapanpun rasanya sulit untuk dilupakan.

Desa Kandihin yang termasuk dalam Kecamatan Loksado Kabupaten Hulu Sungai Selatan ini, konon sebelum tahun 1990-an masih sangat terpencil, belum ada jalan raya yang bisa ditemukan sehingga untuk mencapainya kita harus melakukan jalan kaki samapai puluhan kilometer. Namun, pada saat kami datang jalan raya yang menghubungkan antara Kandangan yaitu ibu kota Kabupaten Hulu Hungai Selatan dengan Loksado ibu kota Kecamatan Loksado sedang dalam proses pengaspalan.

Desa Kandihin ini terletak diantara dua sungai, yaitu Sungai Amandit dan anak sungai Kandihin (?) sehingga sangat eksotis dan indah. Penduduknya tidak terlalu ramai, namun keakraban diantara mereka terlihat sangat jelas. Begitu juga penerimaan mereka terhadap kami, mereka sanmgat terbuka, ramah dan sangat bersahabat, tak heran kalau sejak hari pertama kamipun langsung akrab dengan mereka.

Obyek Wisata yang digalakkan disini yaitu rafting, obyek wisata alam yang memanfaatkan aliran Sungai Amandit dengan menggunakan rakit bambu dari kota Kecamatan Loksado hingga ke Kota Kandangan. Disepanjang perjalanan, banyak ditemukan perkampungan. Kita bisa mampir di warung-warung sekitar sungai untuk sekedar melepas lelah sekaligus menikmati makanan khas yang ditawarkan.

Namun, yang sangat berkesan bagi saya adalah ikan-ikan yang ada di Sungai Amandit. Hampir setiap hari kami mencari ikan disini, selain menggunakan jaring atau jala sering pula kami menggunakan senapan ikan lengkap dengan kacamata airnya. Tapi yang lebih berkesan lagi yaitu sehari sebelum rombongan kami berpamitan pulang, masyarakat Desa Kandihin secara bergotong royong mencari ikan dengan menggunakan jaring yang panjangnya sama dengan lebar penampang sungai, agak mirip pukat harimau tetapi tidak mempunyai kantong. Cukup banyak ikan yang berhasil ditangkap pada hari itu, ibu-ibupun sudah siap untuk memasaknya secara bergotong royongpula. Malam harinya, kami makan bersama dalam acara perpisahan...

Terima kasih masyarakat Kandihin semuanya, insya Allah suatu saat saya bisa kembali lagi kesini...

Rabu, 21 Oktober 2009

CONGKAKNYA SEORANG OKNUM ABRI

Hari ini sekitar pukul 11.00 siang tadi, benar-benar ada kejadian yang kurang mengenakkan bagi saya dan teman-teman. Bagaimana tidak, ada seorang oknum ABRI yang dengan congkaknya menyebut kami "anjing-anjing penjajah" hanya karena kami tidak memenuhi permintaan sesuai keinginannya.

Kejadian tersebut bermula ketika tiga anggota ABRI termasuk seorang oknum tersebut bermaksud minta ikan yang kami pelihara. Mereka ini termasuk bagian dari anggota ABRI yang sedang latihan perang di lokasi Waduk Serba Guna Gadjah Mungkur Wonogiri. Karena sebelumnya mungkin mereka sudah meminta pada pimpinan kami, salah satu teman saya disuruh oleh atasan kami untuk menyiapkan 2 - 3 kg ikan untuk diberikan. Teman saya sudah berinisiatif menyiapkan 3,5 kg ikan yang diminta tersebut.

Begitu datang tiga orang perwakilan dari anggota ABRI tersebut yang saat itu hanya mengenakan kaos seragam tanpa identitas lengkap seperti nama dan pangkatnya, kecuali hanya menggunakan perahu karet milik ABRI, teman saya bermaksud memberikan ikan yang sudah disiapkannya. Dua anggota sudah menerima dan bilang terima kasih, tapi salah satu oknumnya tidak terima karena merasa tidak cukup banyak. Untuk meluapkan rasa tidak puasnya dia malah mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas tadi.

Sebelumnya saya hanya diam saja, namun karena teman-teman saya diperlakukan sebegitu rendahnya oleh oknum tersebut, saya bermaksud mengingatkan. Pak sebaiknya jangan begitu (kasarnya)... Eh malah dia setengah menantang, kenapa... kamu nggak terima ? tanyanya. Jangan menyesal kalau terjadi apa-apa dengan karamba ini nanti malam. Jelas Pak, bagaimana kalau Bapak yang kami bilang begitu...? jawab saya. Dia malah balik lagi naik ke atas phonton dan tanya asal saya segala, saya jawab apa adanya. Lalu tanya apakah ikannya masih ada ?, saya jawab masih banyak tapi bukan untuk diberikan semuanya. Lalu dia tanya kalian makan ikan ini (sambil menujuk ikan dalam karamba) saya jawab iya, tapi kami kalau mau makan ikan ini harus beli dan tidak cuma meminta walaupun setiap saat ikan ini kami yang memelihara. Ketika saya balik bertanya, nama Bapak siapa dan dibagian apa ? Dia cuma bilang nggak usah sambil ngeloyor pergi dan ikan yang kami berikan tadi dilemparkanya keatas tutup karamba.

Saya hanya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jadinya kalau si Oknum ini nanti mempunyai jabatan yang lebih tinggi ?, layakkah sebagai "penjaga keamanan negara" mengeluarkan ancaman kepada warga masyarakat kecil seperti kami ? Beginikah mental seorang prajurit ABRI ?

Kami memang "hanya karyawan" biasa disebuah perusahaan asing (PMA), tapi kami sudah berusaha menjalankan tugas sebaik mungkin sesuai perintah atasan. Kami hidup sederhana dengan gaji yang kami terima, tapi kami lebih nikmat makan dari hasil keringat kami sendiri daripada harus "mengemis-ngemis", apalagi dengan mengacam segala....

Kamis, 01 Oktober 2009

Makin Banyak Pilihan

Kalau suatu waktu anda lewat jalan Wonogiri - Pracimantoro, atau anda sekeluarga sengaja ingin berlibur dan menikmati lezat dan gurihnya daging ikan segar, sempatkanlah mampir sejenak ke Desa Sendang Wonogiri.

Saat ini makin banyak pilihan yang tersedia. Bila anda dan keluarga ingin langsung menikmati makan siang dengan lauk ikan bakar ataupun ikan goreng, maka mampirlah ke warung-warung makan di sekitar Bendorejo (Cakaran), Sendang Wonogiri. Disini banyak ditawarkan aneka olahan ikan ikan air tawar seperti ikan nila, patin, wader ataupun tawes. Akan tetapi bila anda lebih mantap dengan oleh-oleh ikan segar, sempatkanlah mampir ke sekitar karamba ataupun di tempat-tempat pendaratan para nelayan di sepanjang jalur Sendang-Wuryantoro. Begitu pula bila anda tidak ingin repot-repot lagi mengolah ikan dan langsung ingin mendapat oleh-oleh berupa ikan goreng, maka di Kedungarenglah tempatnya.

Kalau sebelumnya, oleh-oleh berupa ikan goreng hanya dijual di obyek wisata Waduk Gajah Mungkur saja, sekitar enam bulan terakhir ini para penjual ikan gorang sudah banyak mendirikan warung khusus ikan goreng di pinggir jalan di Kedungareng, Sendang Wonogiri. Anda dapat memilih sendiri mau ikan jenis apa, namun yang terbanyak adalah jenis ikan tawes, nila dan wader.

Nah, untuk lebih jelasnya silahkan anda datang dan mencobanya sendiri...

Rabu, 30 September 2009

Kemana Ikan-Ikan itu Pergi ?

Waktu Libur Lebaran yang lalu, saya sekeluarga menyempatkan mudik ke kampung tempat kelahiran saya. Dua puluh tahunan yang lalu, ketika hampir setiap hari saya mencari ikan di sungai "Aik Bengkenang" di Kecamatan Seginim, Bengkulu Selatan ikan-ikan disitu masih cukup banyak.

Hanya dengan menggunakan peralatan sederhana seperti ; Senapan dari kawat payung yang saya buat sendiri, kacamata khusus untuk menyelam yang bisa dibeli dipasar dan Kambu untuk tempat menyimpan hasil tangkapan. Saya rata-rata mampu menangkap 0,5 - 1 kg ikan sungai seperti Palau (nilem), Nggaring, Sebubugh (malas) serta ikan-ikan lain dalam waktu sekitar dua jam saja.

Tetapi belum lama ini, ketika peralatan yang hampir sama saya gunakan, hampir setengah jam saya coba menyelam sama sekali saya tidak bisa melihat ikan-ikan itu berkeliaran lagi. Saya hanya melepaskan enam tembakan yang lima diantaranya tepat mengenai sasaran. Sayangnya yang saya tembak itu hanyalah udang-udang sebesar jari kelingking orang dewasa saja.

Namun kepulangan saya kali ini masih termasuk cukup beruntung, karena saat itu kondisi air sungai masih cukup dalam dan bersih karena pas musim penghujan. Beda halnya dengan kepulangan saya sebelumnya, karena pada saat itu pas musim kemarau maka air sungai yang dulunya masih dalam dan deras berubah menjadi anak sungai yang dangkal dan kotor. Belum lagi banyak tumbuhan air semacam kiambang dan eceng gondok yang hanyut sehingga menyebabkan rasa gatal-gatal di kulit bila kita mandi di air sungai tersebut.

Walau kali ini saya tidak bisa mencari ikan di sungai lagi, saya cukup senang karena anak-anak saya terlihat sangat bahagia ketika setiap hari mereka bisa mandi dua kali di sungai. Bahkan anak saya yang baru berumur enam tahun sampai-sampai selalu ingin mandi di sungai, dengan berbagai cara ia merayu saya untuk menemaninya pergi ke sungai.

Senin, 03 Agustus 2009

Mau Cari Ikan Air Tawar...?, Paling Gampang pas Musim Kemarau

Warga Tuatunu Kota Pangkalpinang, berbondong-bondong mencari ikan air tawar pada musim kemarau di aliran anak sungai yang mulai mengering.

"Setiap musim kemarau, kami selalu menggunakan kesempatan untuk mencari berbagai jenis ikan di alur sungai yang mulai mongering ini," ujar Bujang saat menangkap ikan, di aliran anak sungai Tuatunu.

Ia mengatakan, akibat terjadinya musim kemarau air sungai menjadi susut sehingga anak-anak sungai banyak yang kering. "Kesempatan mencari berbagai jenis ikan seperti baung, lele, mujair, patin, ikan tanah dan berbagai jenis ikan lainnya dengan mudah ditangkap pada musim kemarau panjang," ujarnya.

Ia menjelaskan, untuk mendapatkan ikan dengan mudah, kami harus mengaduk-gaduk air sungai itu hingga keruh terlebih dahulu sehingga pada akhirnya ikan-ikan akan keluar sendiri akibat air keruh itu.

"Saya baru mendapatkan ikan sekitar tiga kilogram dari berbagai jenis ikan dan hasil ikan yang saya dapatkan ini hanya sebagian yang untuk dimakan sendiri dan setengahnya bisa dijual," ujarnya.

Menurut dia, mencari ikan pada musim kemarau merupakan suatu tradisi masyarakat Tuatunu yang memiliki sikap bergotong royong. "Ya, menangkap ikan bersama-sama merupakan suatu sikap kerja sama, gimana agar ikan-ikan itu mabuk akibat air yang dikeruhkan itu dengan hasil yang banyak," ujarnya.

Demikian juga, Adi, warga Tuatunu lainnya, mengaku, mencari ikan di sungai-sungai pada musim kemarau merupakan suatu agenda tahunan yang tidak pernah terlewatkan karena suasana dan keakraban antar masyarakat lebih harmonis. "Suasana saat menangkap ikan penuh dengan suka cita dan bisa menjalin kerjasama dan keakraban lebih dalam lagi," ujarnya.

Senin, 08 Juni 2009

Budidaya Ikan secara Intensif

Kalau ada pertanyaan, berapa lama budidaya ikan lele hingga bisa mencapai ukuran konsumsi ?. Sebagian besar orang baik petani, teknisi ataupun mahasiswa yang sudah pernah membaca teknik budidaya lele akan menjawab sekitar tiga bulan. Tidak salah, karena begitulah yang sudah banyak diterapkan selama ini dan itu sudah berlangsung lama dan terus-menerus.

Kalau ditanya lagi, bisakah waktu pemeliharaan dipercepat hingga 50% dari yang sudah biasa dilakukan tersebut atau hanya dengan satu setengah bulan saja ?. Saya yakin akan banyak yang masih ragu untuk menjawab iya !. Padahal sangat bisa dan ini sudah dibuktikan oleh salah satu perusahaan perikanan di desa Wunut, Tulung, Klaten, Jawa Tengah.

Dengan memberi pakan secara intensif yaitu selalu memberi pakan ketika ikan mau makan, dalam satu setengah bulan saja ikan lele sudah mencapai ukuran ikan konsumsi. Gunakan pakan terapung agar kita bisa memantau kebutuhan pakan, pakan yang sudah tidak dimakan dan mengapung hingga lebih dari 15 menit dipermukaan air menunjukkan bahwa ikan sudah kenyang. Hentikan pemberian pakan hingga pakan tersebut benar-benar bersih dimakan ikan.

Sebagian orang pasti berfikir bahwa pemberian pakan seperti ini butuh banyak sekali pakan, padahal tidak. Jumlah pakan yang diberikan per harinya memang lebih banyak akan tetapi jumlah pakan per satu siklus pemeliharaan relatif sama dengan teknik budidaya secara konvensional.

Apa keuntungan yang bisa kita capai dengan teknik budidaya secara intensif ini ?. Jawabannya banyak sekali, diantaranya ;
1. Dalam waktu yang sama akan memperoleh keuntungan dua kali lipat, maisalnya dalam waktu tiga bulan; budidaya secara konvensional hanya satu kali panen sedangkan dengan budidaya secara intensif bisa dua kali panen.
2. Biaya produksi lebih rendah, terutama dalam hal upah tenaga kerja dan sewa lahan.
3. Permintaan pasar akan segera bisa terpenuhi

Selasa, 26 Mei 2009

TEKNIK PEMBERIAN PAKAN

Bagaimana teknik pemberian Pakan ?

Pakan merupakan sumber energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup bagi ikan yang dibudidayakan, pakan juga dibutuhkan untuk menghadapi tekanan lingkungan yang kurang ideal, bertahan hidup, pertumbuhan serta untuk reproduksi.

Dalam budidaya secara intensif, pakan menjadi salah satu kunci untuk mencapai suatu keberhasilan. Lebih dari 60% biaya produksi tersedot untuk pembelian pakan, sehingga pengelolaan pakan haruslah dilakukan dengan tepat dan cermat. Mulai dari pemilihan jenis, ukuran dan merek pakan, cara pemberian, frekuensi serta jumlah pakan yang diberikan juga harus dilakukan dengan hati-hati. Kesalahan dalam pengelolaan pakan akan menyebabkan kegagalan dalam usaha budidaya secara keseluruhan.

Berbagai merek pakan sudah ditawarkan pabrikan pakan, tetapi secara umum jenisnya hanya ada dua macam yaitu pakan tenggelam dan pakan terapung. Pakan tenggelam harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan yang terapung, akan tetapi dibutuhkan kesabaran dan waktu yang lebih lama untuk memberikannya ke ikan. Pakan terapung diyakini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan pakan tenggelam, diantaranya saat diberikan pada ikan, pakan dapat dilihat dengan jelas sehingga kita bisa tahu persis apakah pakan yang kita berikan benar-benar dimakan ikan atau tidak, jumlahnya sudah cukup, masih kurang atau malah sudah berlebihan ?. Belum lagi cara pemberiannya relatif lebih praktis dan tidak membutuhkan waktu yang lama asalkan happa yang kita pasang dalam jaring berfungsi dengan sempurna sehingga pakan tidak ada yang keluar dari jaring.

Dalam hal ukuran diameter pakan, pabrikan sudah membuat sesuai kebutuhan konsumen mulai yang paling halus untuk keperluan benih yang baru menetas hingga yang relatif besar untuk pakan indukan. Namun karena bibit yang digunakan dalam karamba jaring apung ini sudah relatif besar yaitu minimal 10 gram/ekor maka pakan yang digunakan bisa langsung dimulai dengan yang diameter 3 mm. Pakan ukuran 3 mm ini bisa digunakan hingga ikan mencapai ukuran 150 gram/ekor. Setelah bobot ikan mencapai lebih dari 150 gram/ekor, sebaiknya ukuran pakan kita ganti dengan ukuran diameter 5 mm dan pakan ini bisa kita pakai hingga ikan siap panen.

Agar pakan yang diberikan tidak keluar dari jaring karamba, maka pada semua sisi bagian dalam jaring sedalam satu meter hingga setengah meter diatas permukaan air dipasang “damper” yang dibuat dari waring hitam (happa). Usahakan pemasangan happa ini cenderung agak membulat agar pakan tidak mengumpul di setiap pojokan karamba. Tambatkan happa tersebut pada bagian atas dan bawah jaring sehingga happa persis menempel pada jaring .

Untuk mengetahui reaksi ikan terhadap pakan yang diberikan, sebaiknya pemberian pertama kali cukup dalam jumlah yang sedikit saja. Perlu diingat bahwa reaksi ikan terhadap pakan ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Antara hari ini dan keesokan harinya reaksi ikan bisa sangat berbeda. Apabila reaksi ikan baik maka pemberian pakan bisa dilanjutkan, akan tetapi bila ikan kurang tanggap terhadap pakan yang diberikan maka sebaiknya tunda pemberian pakan hingga beberapa saat sambil kita lihat perkembangan reaksi ikan. Ikan yang mau makan ditandai dengan pergerakan memutar ataupun banyak yang muncul ke permukaan air. Bila kita mendekat, ikan cenderung mengejar ke arah kita.

Jumlah pakan yang diberikan disesuaikan dengan jumlah dan ukuran ikan, secara gampangnya berikanlah pakan setiap kali ikan kelihatan sudah lapar dan hentikanlah pemberian pakan segera sebelum ikan kekenyangan. Ikan yang kenyang reaksinya akan lamban dan bila pakan yang diberikan sudah berlebihan maka pakan tersebut akan mengambang di permukaan air dan kemudian akan mengembang. Pakan yang sudah mengambang lebih dari 15 menit diyakini sudah turun kualitas atau kandungan gizinya.

Frekuensi pemberian pakan juga sangat dipengaruhi oleh ukuran ikan dan kondisi lingkungan, namun secara umum ikan yang kecil frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan ikan yang lebih besar. Demikian pula dengan lingkungan, kondisi lingkungan yang mendukung butuh frekuensi pemberian pakan yang lebih sering.

Secara kasat mata, pengaruh manajemen pakan yang baik akan tampak pada ikan. Pengelolaan pakan yang baik akan menghasilkan ikan yang sehat, cepat besar,kematian yang rendah, waktu pemeliharaan yang lebih singkat dan konversinya (FCR) rendah. Kesemuanya ini tentulah akan menguntungkan petani.

Senin, 25 Mei 2009

IKAN KARPER (Cyprinus carpio)

Di Indonesia, ikan karper memiliki beberapa nama sebutan yakni ikan mas, kancra, tikeu, tombro, raja, rayo, ameh atau nama lain sesuai dengan daerah penyebarannya. Berdasarkan klasifikasi ilmiahnya, ikan ini termasuk Kerajaan: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Cypriniformes, Familia: Cyprinidae, Genus: Cyprinus dan Spesies: carpio. Sehingga Ikan karper ini dalam Bahasa Latin dikenal dengan nama Cyprinus carpio

1. Sistematika dan Morfologi
Ahli perikanan Dr. A.L Buschkiel dalam RO. Ardiwinata (1981) menggolongkan jenis ikan karper menjadi dua golongan. Golongan pertama yaitu jenis ikan karper yang bersisik normal dan golongan kedua yakni jenis kumpai yang memiliki ukuran sisrip memanjang. Golongan pertama yakni yang bersisik normal dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok yakni; kelompok pertama ikan karper yang bersisik biasa dan kelompok kedua yaitu ikan karper yang bersisik kecil.

Sedangkan Djoko Suseno (2000) mengelompokkan ikan ini berdasarkan fungsinya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan ras-ras ikan konsumsi dan kelompok kedua adalah ras-ras ikan hias.

Ikan karper sebagai ikan konsumsi dibagi menjadi dua kelompok yakni ras ikan karper bersisik penuh dan ras ikan karper bersisik sedikit. Kelompok ras ikan karper yang bersisik penuh adalah ras-ras ikan karper yang memiliki sisik normal, tersusun teratur dan menyelimuti seluruh tubuh. Ras ikan karper yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah ikan karper majalaya, ikan karper punten, ikan karper si nyonya dan ikan karper merah atau mas. Sedangkan yang tergolong dalam ras karper bersisik sedikit adalah ikan karper kaca yang oleh petani di Tabanan biasa disebut dengan nama karper gajah. Untuk kelompok ras ikan karper hias, beberapa di antaranya adalah karper kumpay, kaca, mas merah dan koi.

Secara morfologis, ikan karper mempunyai bentuk tubuh agak memanjang dan memipih tegak. Mulut terletak di ujung tengah dan dapat disembulkan. Bagian anterior mulut terdapat dua pasang sungut berukuran pendek. Secara umum, hampir seluruh tubuh ikan karper ditutupi sisik dan hanya sebagian kecil saja yang tubuhnya tidak ditutupi sisik. Sisik ikan karper berukuran relatif besar dan digolongkan dalam tipe sisik sikloid berwarna hijau, biru, merah, kuning keemasan atau kombinasi dari warna-warna tersebut sesuai dengan rasnya.

2. Sejarah Perkembangannya di Indonesia
Menurut Djoko Suseno (2000), ikan karper yang pertama kali masuk ke Indonesia berasal dari daratan Eropa dan Tiongkok yang kemudian berkembang menjadi ikan budi daya yang sangat penting.

Sementara itu, menurut R.O Ardiwinata, (1981) ikan karper yang berkembang di Indonesia diduga awalnya berasal dari Tiongkok Selatan. Disebutkan, budi daya ikan karper diketahui sudah berkembang di daerah Galuh (Ciamis) Jawa Barat pada pertengahan abad ke-19. Masyarakat setempat sudah menggunakan kakaban - subtrat untuk pelekatan telur ikan karper yang terbuat dari ijuk - pada tahun 1860, sehingga budi daya ikan karper di kolam di Galuh disimpulkan sudah berkembang berpuluh-puluh tahun sebelumnya.

Menurut Djoko Suseno (2000), ada dua jenis ikan karper yakni jenis gajah dan kaca khusus didatangkan dari negeri Belanda. Kedua jenis karper tersebut sangat digemari oleh petani karena rasa dagingnya lebih sedap, padat, durinya sedikit dan pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan ras-ras lokal yang sudah berkembang di Indonesia sebelumnya.

Pada tahun 1974, Indonesia mengimpor kembali ikan karper ras Taiwan, ras Jerman dan ras fancy carp masing-masing dari Taiwan, Jerman dan Jepang. Sekitar tahun 1977 Indonesia mengimpor ikan karper ras yamato dan ras koi dari Jepang. Ras-ras ikan karper yang diimpor tersebut dalam perkembangannya ternyata sulit dijaga kemurniannya karena berbaur dengan ras-ras ikan karper yang sudah ada di Indonesia sebelumnya sehingga terjadi persilangan dan membentuk ras-ras baru.

3. Syarat dan Kebiasaan Hidup
Ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan tawar yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau danau. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150--600 meter di atas permukaan air laut (dpl) dan pada suhu 25-30° C. Meskipun tergolong ikan air tawar, ikan mas terkadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang mempunyai kadar garam 25-30%o.

Ikan mas tergolong jenis omnivora, yakni ikan yang dapat memangsa berbagai jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik. Namun, makanan utamanya adalah tumbuhan dan binatang yang terdapat di dasar dan tepi perairan.

4. Perkembangbiakan
Sebenarnya pemijahan ikan mas dapat terjadi sepanjang tahun dan tidak tergantung pada musim. Namun, di habitat aslinya, ikan mas Bering memijah pada awal musim hujan, karena adanya rangsangan dari aroma tanah kering yang tergenang air.

Secara alami, pemijahan terjadi pada tengah malam sampai akhir fajar. Menjelang memijah, induk-induk ikan mas aktif mencari tempat yang rimbun, seperti tanaman air atau rerumputan yang menutupi permukaan air. Substrat inilah yang nantinya akan digunakan sebagai tempat menempel telur sekaligus membantu perangsangan ketika terjadi pemijahan.

5. Jenis-jenis Ikan Karper
Saat ini, banyak sekali jenis ikan karper yang beredar di kalangan petani, baik jenis yang berkualitas tidak terlalu tinggi hingga jenis unggul. Setiap daerah memiliki jenis ikan mas favorit, misalnya di Jawa Barat, ikan mas yang paling digemari adalah jenis ikan mas majalaya. Di daerah lain,jenis ini belum tentu disukai, begitu juga sebaliknya. Perbedaan tersebut biasanya dipengaruhi oleh selera masyarakat dan kebiasaan para petani yang membudidayakannya secara turun-temurun.

Dari beberapa jenis ikan mas yang telah dikenal masyarakat, varietas majalaya termasuk jenis unggul. Buktinya, varietas ini telah dilepas oleh Menteri Pertanian tahun 1999 dalam rangka HUT ke-25 Badan Litbang Pertanian.

Ikan karper merupakan salah satu komoditas yang memiliki prospek cukup baik untuk dikembangkan dengan karamba jaring apung. Keunggulan kompetitif ikan karper yang dipelihara di karamba jaring apung jika dibandingkan dengan yang dipelihara pada kolam pada umumnya adalah rasa yang lebih gurih dan tidak tercemar bau tanah/lumpur.

Minggu, 24 Mei 2009

JAMBAL SIAM (Pangasius Suchi)

Jambal Siam atau di Indonesia dikenal juga dengan nama Lele Bangkok adalah jenis ikan air tawar yang biasa hidup di sungai-sungai, kolam dan rawa-rawa di Tailand. Sebagai ikan yang biasa hidup liar, mulanya ikan ini sulit dibudidayakan. Namun setelah dapat beradaptasi dengan lingkungan kolam buatan, pemijahannya kini sudah bisa berhasil. Dilihat dari kebiasaan makannya, pangasius tergolong dalam jenis Carnivor dan menyukai berbagai jenis pakan alami seperti zooplankton. Akan tetapi dalam budidayanya kini pangasius juga sudah diberi pakan buatan berupa pelet yang kaya protein.

Pada awalnya, saat pertama kali diimpor ke Indonesia bahkan hingga kini jenis ikan Pangasius Sutchi ini dijadikan sebagai ikan hias. Namun di Negara asalnya (Thailand), sebenarnya ikan ini sudah lama dikenal sebagai ikan konsumsi dan sudah membudaya di masyarakat

Sebagai ikan hias, ikan ini cukup banyak digemari para penghoby karena warnanya yang cukup indah serta bentuk tubuhnya yang unik mirip ikan hiu. Tak heran jika ikan ini juga dikenal dengan sebutan Siamese Shark atau Hiu Siam. Namun di Thailand dalam bahasa sehari-hari ikan ini sering disebut dengan “Pla Sawai”.

Saat ini di Indonesia-pun pangasius juga sudah banyak ditemukan di pasar sebagai ikan konsumsi, bahkan di daerah Jawa tengah penggemar ikan ini sudah cukup banyak. Tidaklah terlalu mengherankan karena rasa dagingnya memang cukup gurih dan lezat.

Tidak hanya di Thailand, sebenarnya ikan jenis ini sudah lama ada di Indonesia namun spesiesnya berbeda. Ada dua spesies pangasius yang terdapat di Indonesia yaitu Pangasius pangasius dan Pangasius polyurandon. Beda kedua jenis pangasius ini hanya terletak pada bentuk kepala dan sirip punggungnya. Pangasius pangasius kepalanya lebih besar dan bentuknya menyerupai segitiga, sedangkan Pangasius polyurandon kepalanya lebih kecil dan bentuknya agak bulat. Pada bagian sirip punggungnya, Pangasius pangasius terdapat patil yang berupa duri keras, sedangkan pada sirip punggung Pangasius polyurandon tidak terdapat patil.

Bila dibandingkan dengan Pangasius sutchi, kedua jenis Pangasius asli Indonesia yang banyak terdapat diperairan Sumatra ini relatif lebih sulit dipijahkan. Karena sangat liar dan sulit beradaptasi sehinga sulit matang gonad jika dipelihara di kolam. Akan tetapi akhir-akhir ini sudah ada yang berhasil membudidayakannya.

Pangasius sutchi mempunyai peluang dan potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dengan budidaya dalam karamba jaring apung, karena ikan ini mempunyai syarat hidup yang mudah yaitu tahan terhadap kadar Oksigen terlarut dalam air (DO) yang rendah, tidak memerlukan air deras dan cukup tahan terhadap penyakit.

Sabtu, 23 Mei 2009

NILA MERAH (Oreochromis sp.)

Menurut klasifikasinya, nila merah (Oreochromis sp.) termasuk kedalam Ordo Percomorphi, Famili Cichlidae dan Genus Oreochromis. Ikan ini berkembangbiak dengan cara mengerami telur dan mengasuh anaknya dalam mulut (maternal mouth brooders).

Nila merah merupakan salah satu jenis ikan air tawar hasil persilangan antara Oreochromis mossambicus albino yang berwarna merah oranye dengan Oreochromis niloticus atau Oreochromis aureus. Nila merah yang kita kenal biasanya mempunyai warna tubuh kemerah-merahan atau kuning keputih-putihan.

Dibandingkan dengan jenis ikan air tawar lainnya, nila merah mempunyai beberapa kelebihan untuk dibudidayakan. Kelebihan tersebut antara lain pertumbuhannya cepat, mudah berkembangbiak, tahan terhadap penyakit, mempunyai toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan mempunyai prospek pemasaran yang cukup baik. Disamping itu ikan ini juga mempunyai warna yang menarik, cenderung untuk memakan semua makanan yang tersedia di sekitarnya dan keturunannya dominan berjenis kelamin jantan. Kelebihan lainnya yaitu warna daging putih, rasa daging enak, gurih dan lezat serta hanya terdapat sedikit tulang, itulah sebabnya ikan ini sudah banyak diekspor ke luar negeri dalam bentuk fillet beku.

Nila merah yang sudah dewasa dapat dibedakan dengan mudah antara yang jantan dengan betina. Nila merah jantan mempunyai bentuk tubuh yang relatif tinggi, lubang genital hanya satu yang berupa tonjolan agak meruncing yang berfungsi sebagai alat pengeluaran urine dan sperma. Sedangkan nila merah betina mempunyai bentuk tubuh yang lebih rendah dan mempunyai dua lubang genital yang berupa tonjolan agak membundar. Kedua lubang genital tersebut masing-masing berfungsi untuk mengeluarkan urine dan telur.

Nila merah jantan mempunyai pertumbuhan yang lebih cepat dan dapat mencapai ukuran yang lebih besar bila dibandingkan dengan yang betina. Hal ini disebabkan karena nila merah jantan lebih agresif dan rakus bila dibandingkan dengan yang betina, sehingga dalam persaingan untuk mendapatkan makanan yang jantan selalu menang. Selain itu, proses kematangan seksual nila jantan lebih lambat daripada yang betina sehingga energi yang diperoleh sepenuhnya dapat digunakan untuk pertumbuhannya. Oleh karena itu, pembudidayaan nila merah jantan secara tunggal kelamin merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan produksi budidaya.

Jumat, 22 Mei 2009

IKAN YANG DIPELIHARA

Jenis Ikan apa sajakah yang cocok untuk dibudidayakan dalam Karamba Jaring Apung ?

Beberapa jenis ikan seperti golongan Oreochromis, golongan cyprinus, golongan Catfish dan jenis ikan lainnya sudah banyak dicoba dibudidayakan dalam karamba jaring apung. Termasuk ke dalam golongan oreochromis yaitu; nila lokal/nila hitam, mujair, nila aurea dan nila merah. Sedangkan dari golongan cyprinus diantaranya; ikan mas/karper/tumbro, tawes, dan grace carp. Golongan Catfish yang sangat populer diantaranya; lele lokal, lele dumbo dan jambal. Selain ketiga golongan tersebut ikan yang sudah dicoba untuk dipelihara dalam karamba jaring apung yaitu ; gurame, bawal air tawar hingga ikan malas. Akan tetapi disini saya akan mengupas 3 jenis ikan yang paling banyak dibudidayakan dalam karamba jaring apung. Ketiga jenis tersebut yaitu : Nila Merah (Oreochromis sp), Ikan Mas (Cyprinus Carpio) dan Jambal Siam(Pangasius Sutchi).

Kamis, 21 Mei 2009

MEMBUAT JARING

Bagaimana cara membuat jaring ?

Pembuatan jaring harus disesuaikan dengan bentuk kerangkanya, apabila kita menggunakan kerangka bundar maka kita juga harus membuat jaring yang berbentuk bundar. Demikian pula kalau kerangkanya persegi atau bujur sangkar, jaring yang kita buat juga harus sama yaitu persegi atau bujur sangkar pula.

Bahan jaring yang sudah setengah jadi tetapi masih berbentuk lembaran hasil pabrikan sudah banyak tersedia di pasaran. Kita tinggal memilih yang sesuai dengan keinginan kita. Jaring yang sering digunakan untuk karamba biasanya terbuat dari bahan Poly Ethelene (PE) dengan berbagai ukuran mata jaring dan jumlah serabut penyususnnya.

Untuk bibit yang baru tebar hingga ikan mencapai ukuran sekitar 200 gram/ekor biasanya digunakan jaring dengan ukuran mata satu inchi, bahannyapun biasanya hanya PE D9 hingga D12 yang berarti benang jaring tersebut tersusun dari 9 hingga 12 serabut. Sedangkan untuk ikan-ikan yang sudah lebih besar dari 200 gram/ekor hingga ikan tersebut siap panen sebaiknya menggunakan jaring dengan ukuran mata dua inchi dari bahan PE D12 hingga D15. Hal ini dilakukan karena ukuran ikan yang dipelihara sudah cukup besar dan biomassa ikan dalam karamba sudah cukup tinggi.

Untuk karamba yang berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sisi-sisinya 6 meter, paling tidak dibutuhkan bahan jaring sepanjang 30 meter. Tetapi akan lebih baik kalau kita gunakan 36 meter jaring. Biasanya bahan jaring yang tersedia dipasaran terdiri dari sekitar 300 mata jaring, untuk jaring dengan ukuran mata satu inchi sebaiknya bahan tersebut langsung digunakan. Lain halnya kalau bahan jaring dengan ukuran mata dua inchi, bahan tersebut sebaiknya dibelah menjadi dua bagian terlebih dahulu.

Cara membuat jaring berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sisi-sisinya 6 meter sangatlah mudah, kita potong bahan sepanjang 24 meter sebagai dinding karamba lalu dijahit sehingga menyerupai sarung. Jaring yang sudah berbentuk sarung tersebut kita bagi menjadi 4 bagian lalu diberi tanda untuk dijadikan pojokannya. Potong lagi bahan jaring yang baru sepanjang 6 meter untuk dijadikan lantai jaring. Dari potongan terakhir ini kita akan dapatkan empat sudut, lalu pasangkan keempat sudut tersebut dengan empat pojokan sarung yang sudah kita beri tanda tadi dan gabungkan dengan cara menjahitkan semua sisi dasar jaring tersebut dengan sisi bawah dinding jaring. Kalau cara jahitnya benar maka akan kita dapatkan kelambu terbalik. Pada pinggiran bidang atas kelambu tadi kita beri tali ris. Sebaiknya tali ris ini berbentuk tali nylon yang juga terbuat dari bahan Poly Ethelene (PE) yang diameternya 6 mm, tali ris ini berfungsi untuk menambatkan jaring ke kerangka karamba.

Karena ukuran jaring ini sama dengan ukuran kerangka karambanya, maka jaring akan tertarik secara maksimal saat dipasangkan. Hal ini menyebabkan bukaan mata jaring tidak dapat sempurna, sehingga sirkulasi air di dalam karamba juga tidak dapat berjalan dengan sempurna.Untuk mengatasi hal ini maka setiap sisi jaring tadi harus ditambah satu meter, dengan demikian bahan pembuat dinding karamba membutuhkan 28 meter bahan jaring. Sedangkan sebagai dasarnya dibutuhkan 8 meter bahan sehingga jaring yang terbentuk bisa lebih sempurna.

Rabu, 20 Mei 2009

KONSTRUKSI KARAMBA

Bagaimana konstuksi Karamba yang sesuai dengan lingkungan tertentu ?

Hampir tidak ada standarisasi konstruksi pada system budidaya karamba jaring apung ini. Bentuk dan ukurannya sangat bervariasi disesuaikan dengan lingkungan yang tersedia. Bahan baku kerangkanya juga sangat bervariasi, umumnya kerangka yang digunakan terbuat dari besi pipa, bambu, kayu atau kombinasi ketiganya.

Bentuk karamba jaring apung ada bermacam-macam, ada yang berbentuk segi enam, empat persegi panjang, bujur sangkar bahkan bundar. Namun dua bentuk terakhirlah yang paling banyak digunakan pada perairan-perairan umum.

Untuk membuat kerangka karamba bundar biasanya digunakan bahan semacam campuran antara pipa PPC, PE dan karet yang di dalamnya diisi busa (streoform). Kerangka ini sekaligus merupakan bahan pelampung karamba sehingga dengan kerangkan semacam ini tidak diperlukan lagi drum-drum pelampung. Sedangkan kerangka karamba bujur sangkar biasanya digunakan pipa besi yang sudah banyak tersedia di pasaran dengan ukuran panjang sisi-sisinya sekitar 6 meter, namun bila menggunakan bahan ini masih diperlukan drum-drum sebagai pelampungnya.

Sebagai jalan atau jembatan untuk memberi makan ikan-ikan yang dipelihara biasanya digunakan bambu-bambu yang disusun rapi atau diikat dengan tali sehingga membentuk jembatan, namun akan lebih praktis dan baik lagi kalau jembatan ini juga terbuat dari kayu/papan.

Untuk menyimpan pakan sebagai stok sementara sebelum diberikan pada ikan maka perlu dibuatkan rumah phonton, rumah ini sekaligus digunakan sebagai tempat beristirahat pekerja karamba. Bahan pembuat rumah ini sebaiknya menggunakan bahan yang ringan tetapi relatif tahan terhadap air seperti ; seng, fiber atau bahan lainnya. Gunakan drum pelampung yang lebih banyak pada rumah ini agar daya tampungnya menjadi besar.

Biasanya satu rumah phonton yang berukuran sekitar 4 m x 4 m mampu menyimpan hingga satu ton pakan. Stock pakan sebanyak ini cukup untuk memenuhi kebutuhan 10 hingga 12 petak karamba bujur sangkar yang berukuran 6 m x 6 m dalam sehari. Ini kalau kita memelihara ikan secara intensif, sedangkan kalau hanya semi intensif maka pakan sebanyak itu cukup untuk jatah seminggu.

Selain jembatan, akan lebih baik kalau di sisi kiri-kanan jembatan tersebut kita buatkan pagar pengaman. Pagar ini bisa kita buat dari bahan besi pipa disatukan dengan kerangka karamba. Pagar ini sangat penting untuk pengamanan tenaga kerja disamping juga bisa digunakan sebagai tempat menambatkan tali net beserta penutupnya.

Selasa, 19 Mei 2009

PEMILIHAN LOKASI

Dimanakah Budidaya Ikan dengan Karamba Jaring Apung Cocok untuk Diterapkan ?

Pada dasaranya semua perairan yang kedalamannya mencukupi dapat digunakan untuk budidaya ikan dengan karamba jaring apung, namun umumnya teknik budidaya yang satu ini diterapkan pada perairan umum alami yang justru kurang praktis untuk budidaya dengan menggunakan system budidaya yang lainnya.

Perairan umum tawar seperti ; waduk, danau, situ, tebat, empang dan sungai atau perairan umum payau seperti ; muara sungai bahkan perairan laut seperti ; pantai, air pasang surut, laguna laut dan teluk dapat digunakan sebagai tempat untuk budidaya ikan dengan karamba jaring apung. Kebanyakan dari perairan-perairan umum tersebut produksi ikannya sangat rendah akibat sering digunakan sebagai daerah penangkapan. Dengan menjadikannya sebagai daerah budidaya maka produksi ikan akan dapat ditingkatkan.

Lingkungan perairan yang cocok untuk pengembangan system budidaya dengan karamba jaring apung adalah semua perairan yang mampu menyangga kesehatan ikan. Namun demikian, perairan yang bebas polusi dan miskin hara adalah merupakan lingkungan yang paling cocok untuk digunakan. Selain itu, air yang bening ataupun hijau disebabkan plankton dan tidak banyak lumpurnya akan sangat mendukung budidaya dengan system ini. Sementara itu, air yang berwarna coklat seperti kebanyakan air di rawa-rawa kurang baik untuk usaha budidaya.

Dalam memilih lokasi budidaya, hal-hal yang perlu diperhatikan meliputi : perubahan tinggi permukaan air, pola tiupan angin serta arah dan kecepatan arus air.
Perairan yang permukaannya relatif stabil akan lebih baik dibandingkan dengan yang terlalu berfluktuatif. Kedalaman air minimal yang harus dipenuhi yaitu 50 cm lebih dalam dibandingkan dengan karambanya.

Pola tiupan angin mutlak diketahui, pola yang teratur akan lebih baik dan akan membantu kita dalam menentukan penempatan karamba. Pola tiupan angin ini biasanya sejalan dengan arah arus air. Penempatan karamba harus searah dengan pola angin dan arus air, sehingga karamba tidak cepat rusak. Apabila tiupan angin terlalu kencang ataupun arus air terlalu deras maka kita dapat memilih daerah teluk yang agak terlindung untuk menempatkan karamba. Namun demikian, apabila kita tetap ingin memilih lokasi yang tiupan anginnya kencang maka konstruksi karamba harus disesuaikan.

Selain hal-hal diatas, perlu diingat pula bahwa daerah penempatan karamba jaring apung haruslah terbebas dari tumbuhan air dan pemangsa ikan seperti biawak, ikan buas serta pemangsa ikan yang lainnya. Lebih jauh dari itu, sebaiknya lokasi penempatan karamba ini mudah dijangkau dengan kendaraan karena hal ini sangat penting untuk mengangkut pakan dan prasarana yang lainnya disamping juga untuk pengangankutan hasil panen.

KARAMBA JARING APUNG

Apakah karamba jaring apung itu ?

Karamba jaring apung adalah sebentuk wadah yang dilayangkan di dalam air. Wadah itu, semua sisi dan dasarnya diselubungi oleh jaring yang berfungsi untuk menahan ikan di dalamnya tetapi masih memungkinkan terjadinya pertukaran air secara bebas. Pertukaran air ini diperlukan untuk mendapatkan air yang masih sehat dan segar serta memungkinkan keluarnya hasil ekskresi ikan sehingga tidak meracuni ikan yang dipelihara di dalamnya.

Jaring yang digunakan haruslah terbuat dari bahan yang kuat, tahan lama serta tidak menggesek atau melukai ikan sehingga ikan yang dipelihara tidak stres. Untuk membuka rangkaian jaring tersebut, pada permukaan air dibuatkan kerangka dari besi pipa, bambu atau bahan lain yang dilengkapi dengan pelampung drum.

Sebagai pemberat jaring, dapat digunakan bandul-bandul kecil yang terbuat dari bola plastik atau botol bekas air mineral 1500ml dan di isi pasir atau cor. Pemberat ini berfungsi sebagai pembuka jaring di dalam air sehingga volume karamba menjadi maksimal. Agar karamba jaring apung tetap berada di posisinya dan tidak bergeser akibat terpaan angin atau ombak, maka rangkaian karamba tersebut harus diberi bandul besar atau jangkar.

Bentuk dan ukuran karamba jaring apung harus sesuai dengan lokasi yang tersedia disamping juga disesuaikan dengan kebutuhan. Pada umumnya karamba jaring apung berbentuk bujur sangkar, namun demikian di beberapa tempat dapat pula kita temukan karamba bentuk lain seperti persegi panjang,. segi enam bahkan bundar sekalipun. Demikian pula dengan ukurannya, mulai dari volume 1 m3 hingga 100 m3 bahkan lebih besar lagi, akan tetapi karamba yang kecil akan lebih mudah pengelolaannya.

Salah satu kelebihan budidaya ikan dengan menggunakan karamba jaring apung ini bila dibandingkan dengan teknik budidaya ikan yang lainnya adalah teknik ini bukan merupakan pesaing, bahkan bersifat pelengkap bagi teknik budidaya ikan yang lain misalnya budidaya mina padi.

Budidaya ikan dalam karamba jaring apung dapat diterapkan pada hampir semua jenis ikan yang sudah biasa dibudidayakan. Teknik budidaya ini juga dapat diterapkan pada perairan umum alami seperti waduk, danau, sungai, muara sungai, pantai, aliran pasang surut, laguna laut, teluk dan perairan umum lainnya yang biasanya kurang praktis untuk diterapkan dengan teknik budidaya ikan yang lainnya.

Kelebihan yang lain adalah secara teknologi relatif sederhana, tidak termasuk proyek padat modal, kontrol ikan dapat dilakukan dengan mudah serta tentu saja secara ekonomis cukup menguntungkan

Sabtu, 24 Januari 2009

Waduk Gajahmungkur Wonogiri

WADUK Gajahmungkur, merupakan objek wisata yang cukup menarik di Jawa Tengah khususnya di Wonogiri. Sebagaimana fungsi waduk-waduk yang lainnya, selama ini air waduk Gajahmungkur dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik (turbin), untuk pengairan pertanian dan juga merupakan sentra pembudidayaan ikan. Untuk fungsi yang terakhir ini, tak mengherankan kalau kawasan tersebut juga padat dengan aktivitas perdagangan ikan, serta marak warung ikan bakar dengan memanfaatkan hasil tangkapan dan budidaya di waduk.

Pengunjung yang berminat untuk mencari oleh-oleh berupa ikan segar dapat mencari disekitar karamba yakni di Bendorejo, Desa Sendang, Wonogiri. Sayang pasar ikan ini tidak sepanjang hari dibuka, biasanya hanya pagi, siang dan sore hari saja ketika para nelayan baru pulang dari menangkap ikan di waduk. Ditempat-tempat pendaratan nelayan yang lainnya seperti di Wuryantoro juga seringkali menyediakan ikan segar hasil penangkapan nelayan.

Untuk yang hoby memancing, waduk ini merupakan pilihan yang sangat tepat untuk dijadikan sebagai tempat memancing. Selain lokasinya yang mudah dijangkau karena berada tepat dipinggir jalan raya Solo - Pracimantoro, di tempat ini juga tersedia warung-warung yang bukan saja menyediakan makanan tetapi juga menyediakan sarana untuk memancing. 

Bagi pengunjung waduk tersebut, belum lengkap rasanya jika belum menyantap aneka jenis ikan air tawar dengan berbagai cara pengolahannya yang banyak ditawarkan warung-warung makan disekitar waduk. Ikan Bakar dan goreng merupakan menu pavorit sebagian besar pengunjung. Selain ikannya segar, cita rasa yang khas Wonogiri sulit dicari bandingannya di daerah lain. Jenis ikan nila (kakap merapi) dan patin merupakan jenis ikan andalan yang ditawarkan di kawasan itu. 

Namun di balik keunggulan-keunggulan itu, jumlah produksi ikan Waduk Gajahmungkur Wonogiri hingga kini belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi ikan bagi masyarakat Wonogiri sendiri. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut sebagian besar warung di sekitar waduk masih mendatangkan ikan nila dari daerah lain disekitarnya, seperti dari daerah Klaten.

Di waduk ini pada saat ini terdapat tidak kurang dari 13 kelompok nelayan, akan tetapi mereka setahunnya hanya mampu menangkap ikan tidak lebih dari 1000 ton saja. Sedangkan Karamba Jaring Apung milik para petani di Waduk Gajahmungkur sekarang jumlahnya mencapai sekitar 500 petak dengan produksi ikan sekitar 2000 ton per tahun.

Untuk menjaga ketersediaan stok ikan di waduk, hampir setiap tahun pihak Dinas Wanperla Wonogiri bekerjasama dengan masyarakat sekitar telah melakukan penebaran bibit ikan. Sebagian besar hasil ikan dari karamba diperuntukkan guna memenuhi permintaan luar negeri. Karena itu, secara keseluruhan hasil produksi ikan di Waduk Gajahmungkur Wonogiri belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi ikan masyarakat Wonogiri. Selama ini baru bisa mencukupi sekitar 40-50 persennya saja. Untuk warung-warung ikan bakar yang kini banyak ditemukan di sekitar Waduk Gajahmungkur, per hari membutuhkan tidak kurang dari satu ton ikan segar. 

Sabtu, 10 Januari 2009

Ibarat Lobster Kawin dengan Lalat

Ibarat kekasih yang disatukan kembali setelah terpisah bertahun-tahun, dua jenis bakteri usus kembali berkumpul dalam satu populasi. Kedua bakteri tidak hanya kembali hidup bersama di lingkungan yang sama, namun juga melakukan kawin silang membentuk populasi bakteri hibrida yang dapat berkembang menjadi spesies baru.

Adalah bakteri Campylobacter jejuni dan Campylobacter coli yang sama-sama hidup di dalam saluran pencernaan beberapa jenis hewan. Selama ini, keduanya memang diyakini berasal dari satu keturunan namun akhirnya terpisah karena terjadinya adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Masing-masing memilih bagian usus sapi, ayam, atau babi yang berbeda untuk menjadi habitatnya.

Secara fisiologis, keduanya jelas berbeda meskipun secara genetik, kedua bakteri memiliki kemiripan hingga 85 persen. Sebagai perbandingan, manusia dan simpanse saja memiliki kemiripan genetika 98 persen.

"Jadi perkawinan dua jenis bakteri menjadi satu spesies, saya kira sangat mengejutkan. Ini seperti perubahan pola genetika besar-besaran, ibarat lobster kawin dengan lalat," ujar Samuel Sheppard, pakar evolusi mikrobiologi dari Universtas Oxford, Inggris. Temuannya dilaporkan dalam jurnal Science terbaru yang terbit 11 April 2008.

Perubahan lingkungan

Sheppard memperkirakan penyatuan dua jenis bakteri usus ini baru berlangsung dalam beberapa tahun terakhir karena dipicu industrialisasi. Permintaan atas produk hasil ternak begitu tinggi sehingga peternakan melebihi kapasitas normal. 

"Kita sekarang menggabungkan banyak hewan ternak menjadi satu dan karenanya lingkungan hidup bakteri berubah," jelasnya. Misalnya, ayam seringkali tidak dapat membedakan kotoran sesamanya dan makanan sehingga memungkinkan bakteri bercampur di ususnya. Hal ini berlansgung terus-menerus sampai bakteri beradaptasi dengan lingkungan baru.

Bakteri yang memiliki sifat genetika mirip memiliki peluang berhasil melakukan kawin slang lebih besar. bahkan, dalam kasus ini, ternyata melahirkan bakteri hibrida dan mungkin spesies baru.(LIVESCIENCE/WAH)

Lobster Air Tawar Kenali Wajah Lawan

David Paul/Blair Patullo/University of Melbourne
Lobster air tawar Australian (Cherax destructor) tidak hanya suka berkelahi tetapi ternyata masih pilih-pilih lawan untuk berkelahi, ia juga mungkin mengenali wajah-wajah lawannya. Hal tersebut diungkapkan para peneliti Australia yang mempelajari perilaku lobster Australia dari spesies Cherax destructor. 

Selama ini, lobster air tawar dikenal sebagai hewan yang suka berkelahi setiap kali bertemu satu sama lain sehingga peternak harus jeli dan hati-hati mengatur kolam pemeliharaannya. Setelah mengamati beberapa kali konflik tersebut, para peneliti memisahkan lobster-lobster yang kalah.

Masing-masing kemudian dihadapkan kepada dua kelompok lobster, lobster-lobster yang menang dan lobster-lobster baru. Lobster yang menang dibedakan dengan lobster baru dengan pewarna kuning di wajahnya.

Hasilnya, lobster-lobster yang kalah lebih menyukai lawan berkelahi yang sudah dikenalnya daripada lawan baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa lobster air tawar dapat mengenali wajah lawannya. 

Bahkan, lobster juga dapat memilih lawan yang sudah dikenalnya meski dihadapkan pada dua lobster lainnya yang kembar identik. Bagi manusia, mengenali perbedaan kembar identik saja termasuk sulit kalau hanya dari melihat wajahnya saja.

"Ini menunjukkan bahwa mereka saling mengamati satu sama lain lebih dari yang kita pikirkan," kata Blair Patullo, pakar hewan dari Universitas Melbourne, Australia, seperti dikutip Livescience, Kamis (6/3). Hasil penelitian dijelaskna lebih rinci dalam jurnal online PLoS ONE edisi 28 Februari. Temuan ini dapat membantu para peneliti mengembangkan sistem pengenal wajah, misalnya pada robot.(LIVESCIENCE/WAH)  

Lobster berusia 140 tahun

BEIJING, -Lobster yang diduga berusia sekitar 140 tahun akan dikembalikan ke samudra lepas setelah menjadi maskot bagi sebuah restoran di New York City.

Menurut laporan Xinhua, Sabtu (10/1) Lobster seberat 9 kilogram itu ditangkap di lepas pantai Newfoundland di Kanada sekitar satu setengah pekan lalu dan dikirim ke New York.

Lobster tersebut dibeli dengan harga 100 dollar oleh City Crab and Seafood untuk dijadikan maskotnya. "Kami membeli satu lobster besar, mulai mengambil gambar bersama anak-anak dan itu sungguh berhasil," kata manajer restoran Keith Valenti.

"Kami tak pernah bermaksud untuk menjual lobster raksasa, hanya bermaksud menarik perhatian ke restoran," kata manajer tersebut.

Lobster tersebut akan dikirim ke Maine dari restoran New York itu oleh pegiat hak asasi hewan dan memungkinkan hewan tersebut kembali ke samudra bebas di sekitar Kennebunkport, tempat penangkapan lobster dilarang.  

"Usia lobster itu dapat diperkirakan dari berapa berat badannya, karena setiap pound berarti sama dengan 7 sampai 10 tahun," kata Valenti.